PENGOBATAN PREOPERATIF
(Oleh : Thomas Henry, Juliana, Runtika Dewi,
Beriman Parhusip dan Alman)
Pendahuluan
Pengelolaan
anestesi pada pasien diawali dengan persiapan preoperatif psikologis, dan bila
perlu, pengobatan preoperatif.Beberapa macam obat dapat diberikan sebelum
dimulainya operasi.Obat-obatan tersebut disesuaikan pada setiap pasien. Seorang
ahli anestesi harus menyadari pentingnya mental dan kondisi fisik selama visite
preoperatif. Sebab hal tersebut akan berpengaruh pada obat-obatan preanestesi,
tehnik yang digunakan, dan keahlian seorang ahli anestesi. Persiapan yang buruk
akan berakibat pada berbagai permasalahan dan ketidaksesuaian setelah operasi.
Tidak ada
suatu kesepakatan yang muncul untuk obat-obatan yang digunakan sebelum
operasi,sebagian besar digunakan hanya sebagai tradisi yang telah dimodifikasi
akhir-akhir ini seturut dengan kemajuan tehnik dan obat anestesi. Salah satu
alasan mengapa obat-obatan tersebut hanya berdasar tradisi ialah gabungan
beberapa obat anestesi akan mencapai tujuan yang sama. Namun satu hal yang
jelas ialah, seorang penderita yang hendak masuk ke kamar operasi harus
terbebas dari rasa cemas dan beberapa tujuan khusus telah tercapai dengan
pemberian obat-obatan preoperatif.
A. Persiapan
fisik
Persiapan
fisik pada pasien meliputi kunjungan preoperatif dan wawancara dengan pasien
dan anggota keluarganya. Seorang ahli anestesi harus menjelaskan apa yang akan
terjadi dan tujuan tindakan anestesi sebagai upaya untuk mengurangi rasa cemas.
Sebagian besar penderita beranggapan hari operasi mereka adalah hari terbesar
dalam hidup mereka. Pasien tidak ingin diperlakukan tidak baik selama di ruang
operasi. Kunjungan preoperasi harus dilakukan secara efisien, tetapi harus
bersifat memberikan informasi, rasa aman, dan menjawab segala pertanyaan.
Sebagian ahli anestesi berinteraksi dengan pasien dalam keadaan tidak sadar
atau tertidur, oleh sebab itu seorang ahli anestesi hendaknya berinteraksi
dengan pasien sebelum operasi untuk mendapatkan rasa percaya dan meningkatkan
rasa percaya diri pasien.
Sebagian
besar pasien datang ke kamar operasi dalam keadaan cemas sebelum pembedahan,
sebuah studi menunjukan dari analisa terhadap 500 pasien bedah dewasa, didapat
pasien wanita lebih merasa cemas dibandingkan padien laki-laki sebelum operasi.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa pasien dengan berat badan lebih dari 70 kg lebih
mudah merasa cemas.Sebuah studi oleh egbert dan rekan-rekan dengan pemberian 2
mg/kgBB pentobarbital yang diberikan secara im 1 jam sebelum operasi dan
mendapatkan penjelasan mengenai tindakan yang akan dilakukan lebih tenang saat
masuk ke dalam kamar operasi. Penelitian Kogh menyatakan bahwa pasien dewasa
yang mendapatkan kunjungan sebelum operasi menunjukan level kecemasan yang
lebih rendah dibandingkan apabila tidak mendapatkan kunjungan sama sekali.
Lebih lanjut dikatakan bahwa kunjungan sebelum operasi lebih bermakna bagi
pasien dibandingkan bila pasien mendapatkan informasi hanya dari buku
saja.Persiapan psikologis tidak menyelesaikan segalanya dan tidak meninggalkan seluruh
kecemasan. Di samping persiapan psikologis ada beberapa tujuan lain dari
pengobatan preoperatif. Pengendalian rasa sakit, dan level yang memuaskan dari
sedasi tidak dicapai dengan kunjungan preoperasi semata.Sebagai tambahan,
situasi emergensi mungkin menyediakan sedikit atau tidak ada sama sekali
kunjungan preoperatif.
B. Persiapan
farmakologi
Dalam memilih obat-obatan yang
sesuai untuk pengobatan preoperatif kondisi psikologis pasien dengan status
fisik tetap menjadi pertimbangan.Seorang ahli anestesi harus mengetahui berat
badan pasien, dan respon terhadap obat-obatan depresan, termasuk efek samping
yang tidak diinginkan, dan alergi. Tujuan yang hendak dicapai pada setiap
pasien dengan pengobatan preopertif disesuaikan pada setiap pasien. Tujuan melepaskan
rasa cemas,dan membentuk sedasi, dapat diterapkan pada setiap pasien.
Pengobatan profilaksis terhadap
alergik merupakan beberapa penyesuaian. Pencegahan reflek otonom yang dimediasi
oleh saraf vagus dan efek antiemetik lebih diutamakan pada saat pengobatan
preoperatif. Sebagian besar pengobatan preoperatif tidak mengurangi keseluruhan
anestesi, tetapi pengobatan preoperatif mencegah peningkatan konsentrasi plasma
dari β-endorphin, yang secara normal mengikuti respon terhadap stress.Pada
beberapa pasien sebaiknya tidak menerima antidepresan sebelum pembedahan.
Pasien dengan usia lanjut, atau trauma kepala atau hipovolemia akan lebih
merasakan sakit dibandingkan dengan yang telahmenerimaterapi premedikasi. Pada
pembedahan yang bersifat elektif, seorang ahlin anestesi akan menginingkan
pasiennya masuk ke kamar operasi terbebas dari rasa cemas dan tersedasi.
Various goals
for preoperatif medicine
- Relief of anxiety.
- Sedation
- Amnesia
- Analgesia
- Drying of airway secretions
- Prevention of autonomic reflex responses
- Reduction of gastric fluid volume and increased ph
- Antiemetic effects
- Reduction of anesthetic requirements
- Facilitation of smooth induction of anesthesia
- Prophylaxsis againts allergic reactions
1. Sedasi, hipnosis dan penenang
Benzodiazepin
Benzodiazepin adalah salah satu obat yang paling populer yang digunakan
dalam pengobatan preoperatif. Obat ini digunakan untuk menghilangkan rasa
cemas, sedasi, dan membuat amnesia penderita. Efek antikonvulsan dan pelemas
otot dari benzodiazepin tidak begitu penting ketika obat ini diberikan. Hal ini
disebabkan tempat kerja dari benzodiazepin berada pada susunan saraf pusat yang
berefek sedikit mendepresi pernafasan atau kardiovaskular pada dosis
premedikasi. Benzodiazepin memiliki efek terapi yang lebar dan insidensi rendah
terjadinya keracunan.Secara spesifik mual dan muntah biasanya tidak berkaitan
dengan pemberian benzodiazepin pada pemberian preoperatif. Obat-obatan ini
biasanya digunakan juga sebelum operasi untuk mengurangi mimpi buruk dan
delirium yang muncul setelah pemberian ketamin.
Terdapat
beberapa efek samping yang tidak diinginkan dan meracuni dari benzodiazepin.
Depresi ssp yang bersifat panjang dan menyeluruh, terutama bila digunakan
bersama lorazepam. Pada pemberian diazepam secara intramuskuler atau intraven,
dapat terjadi rasa sakit pada tempat penyuntikan , sebagaimana mungkin terjadi
pula suatu phlebitis. Obat-obatan ini bukanlah suatu pereda nyeri.
Benzodiazepin tidak selalu bersifat menenangkan, tapi mungkin mengakibatkan
agitasi dan juga delirium.
Efek sedasi
dari benzodiazepin berasal dari penguatan atau penghambatan neurotransmiter
yang dimediasi oleh γ aminobutyric acid.
Diazepam
Efek sedasi, amnesia, dan penenang dari diazepam, membuat obat ini menjadi
pilihan paling populer sebagai obat
premedikasi. Obat ini merupakan obat standar terhadap benzodiazepin.lainnya.
karena diazepam tidak larut dalam air dan harus berdisosiasi pada pelarut
organik (propylene, glycol, sodium benzoat), rasa sakit mungkin muncul pada
pemberian intramuskuler ataupun pada pemberian intravena. Phlebitis sering
merupakan gejala sisa dari injeksi intravena. Pemberian diazepam secara oral
dengan 150cc air lebih disukai daripada pemberian injeksi intramuskuler. Lebih
dari 90 persen dosis oral diazepam ceoat diserap. Efek puncak dapat terjadi
setelah pemberian oral dalam waktu 0,5 -1 jam pada orang dewasa dan 15-30 menit
pada anak-anak. Diazepam tidak melewati membran pasenta,dengan level
konsentrasi pada bayi yang setara atau melewati level ibu. Karena diazepam terikat
kuat dengan protein, maka pasien dengan albumin yang rendah, seperti pada
sirosis hepatis atau gagal ginjal kronis, mengakibatkan peningkatan efek dari
obat. Diazepam dimetabolisme reaksi oksidatif N dimethylasi menjadi metabolit
yang lebih lemah. Dimethyldiazepam dan oxazepam adalah metabolit primer.
Sejumlah kecil obat dimetabolisir menjadi temazepam. Waktu paruh dari diazepam
adalah 21-37 jam pada orang normal. Pada pasien usia lanjut dan sirosis
pemberian diazepam secara peroral lebih disukai.
Terdapat
sedikit efek dari diazepam di luar ssp. Depresi normal dari saluran pernafasan,
sirkulasi atau fungsi hepar dan renal dapat terjadi. Lebih lanjut,
depresi ventilator dapat terdiri atas obat-obatan depresi lain, terutama opioid
dan alcohol.ada sedikit depresi kardiovaskular terlihat setelah penggunaan
diazepam untuk medikasi preoperative. Tentunya, dosis intravena lebih tinggi
menghasilkan depresi sirkulasi lebih kecil. (16) tidak banyak efek klinis pada
neuromuscular junction setelah pemberian diazepam untuk medikasi preoperative.
Telah ada berbagai usaha untuk menurunkan myalgia dan fasciculation akibat dari
succinylcholine dengan diazepam. Efek fasciculations bervariasi, tetapi myalgia
menurun pada suatu percobaan. (19) Premedikasi dengan diazepam tidak dapat
dipercaya mencegah kenaikan tekanan intraokuler setelah intibasi trakea. (20)
Pada binatang, diazepam telah menurunkan ambang kejang untuk lidokain, namun
efek ini belum dapat dibuktikan pada manusia. (21)
Beberapa kontroversi ada karena interaksi diazepam dengan obat-obat lain.
Simetidin menghambat hepatic clearance dari diazepam. (22) Tujuan dari
mekanisme ini yaitu inhibisi enzim mikrosomal dari simetidin. Ada beberapa pertanyaan yaitu apakah hal ini
secara klinis signifikan ketika diazepam digunakan sebagai dosis tunggal
sebelum operasi. Diazepam 0,2 mg/kg telah menunjukkan penurunan konsentrasi
alveolar minimum untuk halothane. (23) Puncak reduksi dari kebutuhan anestesi
dari dosis premedikasi dapat atau tidak dapat penting untuk anesthesiologist.
Lorazepam
Lorazepam memiliki struktur serupa dengan oxazepam dan
5-10 kali lebih baik dari diazepam. Lorazepam dapat menghasilkan amnesia,
meredakan kecemasan, dan sedasi. (Gambar 21-4). (24) Ketika lorazepam
dibandingkan dengan diazepam, efeknya mirip sekali. Meskipun lorazepam tidak
larut dalam air dan membutuhkan pelarut seperti polyethylene glycol atau
propylene glycol, masuknya lorazepam, tidak seperti diazepam, tidak berhubungan
dengan nyeri saat injeksi atau phlebitis. Sedasi berkepanjangan biasa terjadi
pada penggunaan diazepam. Meskipun eliminasi waktu paruh diazepam lebih lama
daripada lorazepam (20-40 jam dibandingkan 10-20 jam), efek diazepam dapat
memendek karena lebih tidak berhungan dengan reseptor benzodiazepine. (25)
Lorazepam dipercaya diabsorsi secara oral dan
intramuskuler. Efek maksimal muncul 30-40 menit setelah injeksi intravena. (26)
Bradshaw et al mendemonstrasikan efek klinis 30-60 menit setelah masuknya
diazepam oral. (27) sebuah penelitian oleh Blitt et al menunjukkan ketiadaan
ingatan tidak dihasilkan sampai 2 jam setelah injeksi intramuskuler. (28)
Konsentrasi puncak plasma dapat tidak muncul sampai 2-4 jam setelah masuknya
obat-obatan oral. Oleh sebab itu, lorazepam harus dipertimbangkan dengan baik
sebelum operasi sehingga obat tersebut memiliki waktu untuk efektif sebelum
pasien masuk ke kamar operasi. Lorazepam juga dapat diberikan secara
sublingual. (29) Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, eliminasi waktu
paruh yaitu 10-20 jam. Dosis biasa antara 25-50 mg/kg. Dosis untuk dewasa
tidak boleh melebihi 4,0 mg. (24,25,30) dengan dosis rekomendasi, amnesia
antegrad dapat dihasilkan selama 4-6 jam tanpa sedasi berlebihan. Dosis lebih
tinggi menghasilkan sedasi berkepanjangan dan berlebihan tanpa lebih banyak
amnesia. Kerena onset yang lama dan panjang kerja, lorazepam tidak berguna
dengan cepat dimana diinginkan bangun cepat, seperti pada anestesi pasien bukan
rawat inap. Tidak ada metabolit aktif dari lorazepam; dan karena metabolismenya
tidak tergantung dari enzim mikrosomal, ada pengaruh yang kurang pada efeknya
dari usia atau penyakit hati. (31) Dibandingkan dengan diazepam, sedikit
depresi kardiovaskular muncul dengan lorazepam. Namun, ada bahaya depresi
respirasi yang tidak diinginkan pada dosis pada penyakit paru. (32)
Midazolam
Midazolam telah mendominasi menggantikan diazepam pada penggunaannya
sebagai medikasi preoperative dan sedasi sadar. Bahan-bahan psikokimia dari
obat itu berguna untuk kelarutannya dalam air dan metabolisme cepat. Sedangkan
dengan benzodiazepin lain, midazolam menghasilkan anxiolysis, sedasi, dan
amnesia. Ini 2 sampai 3 kali lebih poten daripada diazepam karena
peningkatannya pada reseptor benzodiazepun. Dosis biasa intramuskuler adalah
0,05-0,1 mg/kg dan titrasi 1,0-2,5 mg pada intravena. Tidak ada iritasi atau
phlebitis dengan injeksi midazolam. Insidensi efek samping setelah masuknya
obat rendah, meskipun depresi ventilasi dan sedasi dapat lebih dari yang
diharapkan, terutama pada pasien tua atau ketika obat dikombinasikan dengan
depresan system saraf pusat lain. Ada
onset yang cepat pada kerja dan absobrsi yang diperkirakan setelah injeksi
intramuskular midazolam daripada diazepam. Waktu onset setelah injeksi
intramuskuler 5-10 menit, dengan efek puncak muncul setelah 30-60 menit. Onset
setelah masuknya intravena sebesar 5 mg diperkirakan muncul setelah 1-2 menit.
Ditambahkan onset yang lebih cepat, penyembuhan lebih cepat muncul setelah
masuknya midazolam dibandingkan dengan diazepam. Hal ini mungkin sebagai hasil
kelarutan midazolam pada lemak dan distribusi yang cepat pada jaringan perifer
dan biotransformasi metabolic. Atas alasan ini, midazolam biasanya diberikan
dalam waktu 1 jam induksi. (33) Midazolam dimetabolisme dengan enzim mikrosomal
hepatic untuk mencapai metabolisme hidroksilasi yang inaktif. Reseptor H2
antagonis tidak mempengaruhi metabolisme. (34) Eliminasi waktu paruh midazolam
kira-kira 1-4 jam dan dapat memanjang pada orang tua. (35) Percobaan
menunjukkan fungsi mental biasanya kembali ke normal dalam 4 jam masuknya obat.
(33) Setelah masuknya 5 mg, amnesia berakhir dari 20-32 menit. (36) Masuknya
obat intramuskuler dapat menghasilkan periode amnesia lebih panjang. Hilangnya
ingatan dapat diakibatkan oleh masuknya skolpolamin berkelanjutan. Obat-obatan
midazolam membuat hal ini ideal untuk prosedur yang pendek.
Benzodiazepin
lain
Oxazepam, benzodiazepin lain telah digunakan untuk medikasi preoperative,
merupakan salah satu metabolisme aktif farmakologi dari diazepam. Ini
diabsorbsi lambat setelah masuknya obat oral dan memiliki eliminasi waktu paruh
5-15 jam. Temazepam telah diberikan pada dosis oral 20-30 mg sebelum operasi.
Ini harus diberikan dengan benar sebelum operasi karena tingkat plasma puncak
tidak muncul sampai kira-kira 2-2,5 jam setelah masuknya obat. Triazolam
merupakan benzodiazepin kerja pendek. Dosis obat oral pada dewasa yaitu
0,25-0,5 mg. Konsentrasi plasma puncak timbul kira-kira 1 jam dan eliminsi
waktu paruh yaitu 1,7-5,2 jam. Obat dapat menjadi kerja panjang pada orang tua.
Sama dengan, penelitian oleh Pinnock et al tidak menunjukkan triazolam menjadi
durasi pendek ketika dibandingkan dengan diazepam untuk premedikasi pada
operasi minor ginekologi. (37) Alprazolam (1mg) diberikan pada dewasa telah
menunjukkan prosedur reduksi yang sederhana pada kecemasan sebelum operasi.
(38)
Barbiturat
Penggunaan barbiturat untuk medikasi preoperative adalah waktu percobaan
dengan angka keamanan yang panjang. Obat-obatan ini digunakan secara primer
untuk efek sedatifnya. Sementara masuknya barbiturat untuk persiapan farmakologi
sebelum operasi telah digantikan pada berbagai hal dengan penggunaan
benzodiazepin, ini berguna dalam hal-hal tertentu. Sedikit deprsei
kardiorespirasi dihubungkan dengn dosis preoperative biasa. Barbiturat dapat
diberikan oral juga parenteral, dan obat-obatan relatif tidak mahal.
Barbiturat, bagaimanapun, tidak menghasilkan sedasi pada nyeri. Sebetulnya,
disorientasi dan eksitasi paradoksik dapat muncul. Dosis rendah barbiturat
telah dikatakan merendahkan ambang nyeri dan menjadi antianalgesik. Agen
kekurangan spesifisitas aksi pada system saraf pusat dan mempunyai indeks
terapeutik yang lebih rendah daripada benzodiazepin. Barbiturat sebaiknya tidak
digunakan pada pasien dengan beberapa macam porphyria tertentu.
Secobarbital.
Secobarbital biasanya digunakan pada dewasa dalam dosis oral 50-200 mg
ketika untuk medikasi preoperative. Onset biasanya muncul 60-90 menit setelah
masuknya obat, dan efek sedatif bertahan 4 jam atau lebih. Tentunya, meskipun
secobarbital dulu telah dipertimbangkan sebagai kerja pendek barbiturat, ini
dapat menunjukkan kerja selama 10-22 jam. (39)
Pentobarbital.
Pentobarbital biasanya digunakan secara oral atau parenteral. Dosis oral
digunakan untuk dewasa biasanya 50-200 mg. Pentobarbital memiliki
biotransformasi waktu paruh sekitar 50 jam. Karena itu, penggunaannya tidak
sering cocok untuk prosedur singkat.
Butyrophenones
Dosis intravena atau intramuskular 2,5-7,5 mg droperidol menghasilkan
keadaan sedasi pada pasien sebelum operasi. Penenang dan tranquilitas telah
diobservasi, namun pasien biasanya menyatakan merasa disforia dan tidak bisa
beristirahat dan bahkan mengalami ketakutan akan mati. Perasaan disforia pasien
mengakibatkan penolakan terhadap tindakan operasi. Karena droperidol merupakan
antagonis dopamine, tanda-tanda ekstrapiramidal dapat muncul setalah masuknya
obat. (40) ini telah dilaporkan muncul sekitar 1% pasien. Butyrophenone juga
menyebabkan efek a-bloking
yang ringan. Butyrophenone lain, haloperidol, juga obat anti-psikotik kerja
panjang yang jarang digunakan untuk medikasi preoperative.
Sekarang, droperidol biasanya digunakan untuk efek antiemesis daripada
bahan sedatif (lihat Antiemesis). Dosis klinis rendah (sampai 2,5 mg)
droperidol telah digunakan sebelum operasi atau hanya sebelum emergensi dari
anestesi untuk mencegah mual dan muntah pada kamar pemulihan.
Sebagai reseptor bloker dopaminergik, droperidol mencapai efek inhibisi
dopamine pada badan karotis dan respon ventilator pada hipoksia.
Konsekuensinya, ini memberikan respons badan karotis pada hipoksia. Untuk
alasan ini, dikatakan droperidol memberikan dapat menjadi premedikasi yang baik
untuk pasien yang tergantung pada alat ventilator hipoksia (Gambar 21.5). (41)
Obat-obat
Sedatif Lain
Hydroxyzine.
Hydroxyzine merupakan obat penenang nonphenothiazine. Biasanya diberikan untuk
tujuan efek tambahan pada opioid dan tidak menyebabkan peningkatan dalam efek
samping. Hydroxyzine memiliki aksi sedatif dan bahan anxiolitik. Ini memiliki
batas bahan analgesik dan tidak
menghasilkan amnesia. Ini merupakan antihistamin dan antiemetik.
Diphenhydramine.
Diphenhydramine merupakan rseptor histamin antagonis dengan aktifitas sedatif
dan antikolonergik. Juga merupakan antiemetik. Dosis 50 mg akan bertahan 3-6
jam pada dewasa. Diphenhydramine telah sering digunakan akhir-akhir ini dalam
kombinasi dengan simetidin, steroid, dan obat-obat lain untuk profiklasis pada
pasien dengan atopi kronis dan untuk profilaksis sebelum khemonukleolisis dan
penelitian yang berkaitan. (42) Diphenhydramine menghambat reseptor histamin
untuk mencegah efek histamin perifer.
Phenothiazine.
Promethazine, promazine, dan perphenazine biasanya digunakan dalam kombinasi
dengan opioid. Phenothiazine memiliki bahan sedatif, antikolinergik, dan
antiemetik. Efek-efek ini, ditambahkan efek analgesik opiod, telah digunakan
untuk medikasi preopratif.
2. ANALGETIK
Opioid
Morfin dan meperidine dahulu merupakan jenis opioid yang sering digunakan
untuk medikasi preoperatif intramuskular. Akhir-akhir ini, penggunaan fentanyl
intravena sebelum operasi telah popular. Opioid digunakan ketika analgesi
dibutuhkan sebelum operasi. Telah dikatakan pada kalimat yang jelas bahwa
“jikalau ada nyeri, tidak dibutuhkan narkose dalam medikasi preanestesi”. (43)
Untuk pasien yang mengalami myeri sebelum operasi, opioid dapat memberikan
analgesia yang baik dan bahkan euphoria. Opioid telah digunakan untuk pasien
sebelum operasi untuk mengurangi ketidaknyamanan yang dapat muncul selama
anestesi regional atau insersi invasive kateter monitor atau jalur intravena
yang besar. Dosis opioid dapat dikurangi pada pasien retardasi mental atau
orang tua. Pasien orang tua seringkali mengalami pengurangan sensitivitas
nyeri. Lebih lanjut, pasien orang tua dapat memiliki respon analgesik yang
meningkat pada opioid. Opioid juga telah digunakan sebelum operasi dalam pasien
tergantung opioid.
Sensitivitas hipoksia (perubahan dalam ventilasi untuk tiap kenaikan 1%
dalan saturasi oksigen) meningkat setelah masuknya droperidol intravena, 2,5
mg. Symbol solid melambangkan percobaan ulangan pada subjek yang sama seperti
yang telah diperlihatkan oleh symbol terbuka. (Dikutip dari Ward DS : Stimulation
of hypoxic ventilatory drive by droperidol. Anesth Analg 63:106, 1984).
Masuknya preoperative opioid dalam hal yang lain telah
controversial. Ini telah diberikan sebelum operasi mendahului anestesi opioid
nitro-oksi. Hal ini dilakukan sebagai usaha untuk memperoleh kadar basal
anestesi yang tepat ketika pasien sampai di kamar operasi dan untuk mendapatkan
pendahuluan respons pasien terhadap opioid. Opiod telah diberikan pada pasien
sebelum operasi untuk menyediakan analgesi pada saat meraka sadar dalam kamar
pemulihan. Pendekatan lainnya adalah untuk mentitrasi opioid intravena selama
emergensi atau saat pasien tiba di kamar pemulihan. Masuknya preoperative
opioid dapat merendahkan kebutuhan anestesi. (44) hal ini dapat atau tidak
dapat secara klinis signifikan untuk pasien secara spesifik menerima teknik
anestesi khusus. Beberapa anesthesiologist menggunakan opioid dalam kombinasi
dengan obat lain sebelum operasi untuk menyediakan anestesi induksi dengan
masker. Hal ini popular terutama pada pasien dimana jalur intravena untuk
induksi obat tidak dapat digunakan. Yang harus diingat bahwa opioid menurunkan
ventilasi selama nafas spontan dan karenanya menurunkan masuknya obat-obat
inhalasi. Jika dibutuhkan, anesthesiologists dapat menginginkan untuk
menggunakan ventilasi bantuan atau terkontrol dari paru-paru untuk menghasilkan
efek depresi respirasi dari opioid. Akhirnya, opioid bukan merupakan obat terbaik
untuk meredakan apprehensi, menghasilkan sedasi, atau mencegah ingatan kembali.
Masuknya opioid telah memberikan potensi untuk menyebabkan beberapa efek
samping. Biasanya menghambat bukan efek myocardial kecuali pada kasus dari
meperidine dosis tinggi. Namun, opioid mempengaruhi konstriksi kompensasi dari
otot halus dari pembuluh darah perifer. Hal ini menyebabkan hipotensi
orthostatic. Pelepasan histamin setelah injeksi morfin dapat terdiri dari
efek-efek sirkulasi ini. Dengan medikasi preoperative yang sering, merupakan
hal teraman untuk pasien tetap tirah baring setelah premedikasi opioid. Bahan
analgesi dan efek depresi respirasi opioid berlangsung selang-seling. Penurunan
karbondioksida pada pusat respirasi meduler dapat diperpanjang. Lebih lanjut,
ada penurunan respon pada hipoksia pada badan karotis hanya setelah injeksi
opioid dosis rendah. (45) Anesthesiologists dapat menginginkan untuk pemikiran
oksigen suplemen pada pasien yang mendapat premedikasi opioid. Dalam hal umum,
opioid agonis-antigonis menghasilkan depresi respirasi lebih rendah, namun juga
menghasilkan disforia. Ketika efek samping ini muncul, biasanya terlihat pada
pasien yang tidak mengalami nyeri sebelum operasi dan telah menerima
premedikasi opioid. Mual dan muntah dapat merupakan hasil dari masuknya opioid.
Efek opioid pada apparatus vestibuler menyebabkan aksi kesakitan atau stimulasi
dari khemoreseptor meduler zona pemacu yang dikatakan sebagai penyebab mual dan
muntah. Spasme sfingter choledochoduodenal (sfingter Oddi) telah sering
diperhatikan tidak sering terjadi pada injeksi opioid. Opioid menghasilkan
konstriksi otot halus, yang menyebabkan nyeri kuadaran kanan atas. (46) pereda
nyeri dapat dicapai dengan naloxone atau glikagon yang memungkinkan. Biasanya,
nyeri dari spamne traktur biliaris sulit untuk dibedakan dari nyeri angina
pectoris. Masuknya nitrogliserin harus meredakan angina pectoris dan nyeri dari
spasme traktus biliaris; antagonis opioid harus meredakan hanya nyeri akibat
spasme traktus biliaris. Beberapa pertanyaan pada penggunaan premedikasi opioid
dalam pasien dengan penyakit traktus biliaris. Semua opioid telah berpotensi
untuk menyebabkan spasme sfingter choledochoduodenal. Meperidine kurang lebih
seperti morfin untuk menghasilkan efek samping ini. Opioid dapat menyebabkan
pruritus. Morfin, mungkin lewat pelepasan histamin, sering menghasilkan
gatal-gatal, terutama sekitar hidung. Opioid juga dapat menyebabkan kemerahan,
pusing, dan miosis.
Obat-obat lain biasanya dikombinasikan dengan opioid
untuk efek tambahannya atau untuk menyembuhkan kerugian efek samping opioid.
Hipnotik-sedatif dan skopolamin biasanya digunakan dengan opioid untuk
menghasilkan sedasi, anxiolysis, dan amnesia dalam tambahan analgesia. Pada
pasien tertentu, kombinasi dari morfin dan benzodiazepin atau skopolamin dapat
berguna untuk bahan farmakologi preoperative.
Morfin
Morfin diabsorbsi dengan baik setelah injeksi
intramuskuler. Onset efeknya muncul dalam 15-30 menit. Efek puncak muncul dalam
45-90 menit dan bertahan selama 4 jam. Setelah masuknya intravena, efek puncak
biasanya muncul dalam 20 menit. Morfin tidak dipercaya diabsorbsi setelah
masuknya obat oral. Dengan opioid lain, depresi ventilasi dan hypotensi
orthostatic dapat muncul setelah injeksi morfin. Efek morfin pada zona pemacu
khemoreseptif dapat mengahsilkan mual dan muntah. Mual dan muntah dapat juga
muncul sebagai komponen vestibuler. Hal ini telah dikatakan karena pasien
supinasi kurang lebih mengeluh mual dan muntah. Setelah masuknya morfin,
motilitas traktus gastrointestinal menurun. Juga sekresi gastrointestinal
meningkat.
Meperidin
Meperidin memiliki efek poten sepersepuluh dari morfin.
Meperidin dapat diberikan secara oral maupun parenteral. Dosis tunggal dari
meperidin biasanya berlangsung 2-4 jam. Onset setelah pemberian intramuskular
sulit diprediksi dan terdapat variasi waktu dalam mencapai efek puncak.
Meperidin secara primer dimetabolisme di hepar.Peningkatan detak jantung dan
hipotensi ortostatik dapat terjadi pada pemberian meperidin.
Fentanyl
Fentanyl adalah agonis opioid sintetik yang strukturnya
mirip dengan meperidin. Fentanyl memiliki efek enalgesik 75-125 kali lebih
poten dibanding morfin. Fentanyl lebih larut dalam lemak dibanding morfin
sehingga onsetnya lebih cepat. Konsentrasi yang puncak dalam plasma terjadi
dalam waktu 6-7 menit setelah pemberian melalui intravena dan waktu paruhnya
adalah 3-6 jam. Karena waktu kerja yang pendek menyebabkan fentanyl di
redistribusi ke paru, lemak, dan otot skelet. Fentanyl dimetabolisme terutama
oleh N-demethylation menjadi norfentanyl, yang memiliki efek poten analgesik
lebih kecil.
Fentanyl dengan dosis 1-2 mikrogram/kgBB iv, dapat
digunakan untuk analgesik preoperatif. Terdapat preparat fentanyl dalam bentuk
oral transmukosa dengan dosis 5-20 μg/kgBB. Bentuk ini dapat digunakan sebagai
premedikasi pada orang dewasa dan anak-anak untuk mengurangi kecemasan dan
nyeri. Fentanyl dalam bentuk oral transmukosa tidak direkomendasikan untuk anak
dibawah 6 tahun sebagai preoperatif karena dapat menyebabkan mual dan muntah.
Fentanyl dapat menyebabkan depresi miokard dan pelepasan histamin dan mungkin
menyebabkan depresi ventilasi dan bradikardi.
Agonis dan Antagonis Opioid
Agonis-antagonis opioid telah dipilih untuk preoperatif
medikasi dalam mengurangi efek efek samping pada ventilasi dari agonis opioid.
Disforia sering terjadi setelah pemberian agonis-antagonis opioid. Hal lain
yang juga harus diingat dalah bahwa agonis – antagonis opioid dapat mengurangi
efek dari opioid agonis yang diperlukan dalam mengontrol nyeri post operasi.
Agonis-antagonis opioid yang sering digunakan adalah Pentazocine, Butorphanol,
dan Nalbuphine.
3. pH DAN VOLUME CAIRAN LAMBUNG
Banyak pasien yang datang
ke kamar operasi dengan resiko aspirasi pneumonitis. Contoh klasik adalah
pasien dengan nyeri akut dan perut penuh yang harus menjalani pembedahan
emergensi. Pasien dengan kehamilan, kegemukan, diabetes dan hiatus hernia atau
efflux gastroesofageal memiliki resiko untuk terjadinya aspirasi isi gaster dan
subsequent chemical pneumonitis. Aspirasi pulmonal dari isi gaster yang
signifikan secara klinik sangat jarang pada pasien yang sehat yang menjalani
pembedahan elektif.
Pentingnya untuk dilakukan puasa sebelum dilakukan
induksi anestesi untuk pembedahan elektif saat ini dipertentangkan.Beberapa
institusi memperbolehkan minum 3 jam bahkan 2 jam sebelum operasi pada pasien
tertentu. Volume isi gaster,setelah induksi anestesi tidak meningkat dengan
pemberian 150 ml air, kopi atau jus jeruk 2-3 jam sebelumnya. Studi yang sama
yang dilakukan oleh Shevde dan Trivedi menggambarkan pemberian 240 ml air,
kopi, jus jeruk pada relawan yang sehat, semuanya memiliki volume gaster kurang
dari 25 ml dengan sedikit peningkatan pH dalam 2 jam setelah minum satu atau
tiga jenis minuman.Hal yang dipertimbangkan dari puasa adalah kenyamanan,
hipovolemi dan hipoglikemi pada pasein anak-anak perioperatif. Investigasi oleh
Splinter dkk, menyimpulkan bahwa minum air putih 3 jam sebelum operasi, tidak
terlalu memiliki efek pada volume gaster dan pH pada anak-anak yang sehat
dengan usia 2-12 tahun. Studi lain pada bayi, anak-anak dan orang dewasa yang
dijadwalkan untuk operasi elektif memiliki hasil yang sama. Namun harus diingat
bahwa data tersebut didapatkan dari pasien yang tidak memiliki resiko terhadap
aspirasi dan hanya meminum air putih. The American Society of Anesthesiologists
menyimpulkan pedoman untuk praktek puasa peroperatif yang diadaptasi pada tahun
1998 (lihat table 21.5)
Tabel 21.5
REKOMENDASI
PUASA UNTUK MENGURANGI RESIKO ASPIRASI PULONAL
|
|
Jenis minuman
|
Waktu puasa
minimal (untuk semua umur)
2
jam
4
jam
6
jam
6
jam
6
jam
|
ü Dilakukan pada pasien sehat
yang akan menjalani prosedur elektif dan tidak dianjurkan untuk wanita
bersalin. Mengikuti pedoman tadak menjamin pengosongan gaster secara komplit.
ü * Termasuk air putih, jus
buah, bahan-bahan berkarbonasi, teh dan kopi hitam.
ü Di adaptasi dari Practice
Guidelines for Preoperative Fasting and the Use of Pharmacologic Agents to
Reduce the Risk of Pulmonary Aspiration : Application to Healthy Patients
Undergoing Elective Procedures. A Report by the American Society of
Anesthesiologists Task Force on Preoperative
Fasting. Anesthesiologists 90:896, 1999.
Antikolinergik
Baik atropine ataupun glycopyrrolate menunjukkan
keefektifan yang tinggi dalam meningkatkan pH isi cairan gaster atau mengurangi
volume gaster. Sebuah studi oleh Stoelting menunjukkan bahwa ketika pemberian
dengan intramuscular 1-1,5 jam sebelum operasi, baik atropin (0,4 mg) ataupun
glycopyrrolate (0,2 mg) dapat merubah pH atu volume isi gaster. Sudi lain yang
serupa menyebutkan bahwa glyccopyrolate (4-5 μg/kgBB) yang diberikan sebelum
operasi tidak mengurangi persentase pasien dengan resiko terhadap aspirasi
pneumonitis yaitu sejumlah besar pasien dengan pH cairan gaster dibawah 2,5 dan
volume isi gaster > 0,4 ml/kgBB. Pemberian glycopyrrolate dosis tinggi (0,3
mg) tidak lagi efektif. Lebih jauh lagi, dosis intravena antikolinergic dapat
menyebabkan relaksasi gastroesophageal junction. Secara teori, hal ini juga
dapat terjadi pada pemberian intramuskuler. Oleh karena itu, resiko terhadap
aspirasi pneumonal dapat meningkat , tapi efek spesifik dari pemberian IM dari
antikolinergik untuk preoperative belum dapat dibuktikan.
Antagonis Receptor Histamin
Antagonis reseptor H2, Cimetidin, Ranitidin,
Famotidin and Nizatidin mengurangi sekresi asam gaster. Mereka memblok
kemampuan histamine untuk menginduksi sekresi asam gaster dengan konsentrasi
ion hydrogen yang tinggi. Oleh karena itu antagonis reseptor histamin
meningkatkan pH gaster. Antagonisme dari reseptor histamine terjadi dalam cara
yang selektif dan kompetitif. Penting untuk mengingat bahwa obat-obatan ini
tidak dapat diperkirakan tergantung dari volume gaster. Dibanding dengan premedikasi,
mereka relatif memiliki efek samping yang lebih sedikit. Karena efek sampingnya
yang relatif sedikit dan karena banyak pasien elektif memiliki resiko aspirasi
pneumonitis, beberapa anesthesiologists menyarankan penggunaan antagonis
reseptor H2. Regimen dosis mulitipel dapat lebih efektif dalam
meningkatkan pH gaster dibanding dosis tunggal sebelum operasi pada hari
operasi. Antagonis H2 juga dapat diberikan pada pasien alergi.
Cimetidin
Cimetidin biasanya diberikan dengan dosis150-300 mg
baik oral maupun parenteral. Penggunaan 300 mg cimetidin oral, 1-1,5 jam
sebelum operasi, menunjukkan peningkatan pH cairan gaster diatas 2,5 pada 80%
pasien. Tidak ada efek pada volume cairan gaster. Namun, sebuah studi oleh
Maliniak dkk melaporkan bahwa cimetidin (300 mg) yang diberikan IV 2 jam
sebelum operasi meningkatkan pH cairan gaster dan menurunkan volume gaster.
Cimetidine IV dapat diberkan pada pasien yang tidak dapat menggunakan cimetidin
secara oral. Untuk pasien yang sangat obesitas, dosis cimetidin perlu
ditingkatkan. Cimetidin dapat menembus plasenta, namun efek samping terhadap
janin belum terbukti. Pada satu pusat investigasi, 126 pasien yang akan
menjalani operasi sectio cesarean elektif diteliti. Para
pasien menerima 30 ml antacid 1-3 jam sebelum operasi atau 300 mg cimetidine
oral pada saat tidur dan juga IM 1-3 jam sebelum operasi. Terdapat peningkatan
pada pH cairan gaster dan penurunan volume cairan gaster pada grup yang
diberikan cimetidine.Yang terpenting dari diskusi ini adalah, tidak terdapat
perbedaan pada kerja saraf dari neonatus diantara kedua grup. Efek gaster dari
cimetidine berlangsung sepanjang 3 atau 4 jam, dan oleh karena itu obat ini
dapat digunakan pada operasi dengan durasi waktu tersebut.
Cimetidin memiliki beberapa efek samping,namun ada
beberapa catatan. Cimetidine dapat menghambat berbagai fungsi system enzim
oksidase hepar sehingga dapat memperpanjang waktu paruh dari berbagai obat,
termasuk diazepam, chlordiazepoxide, theophylline, propanolol dan lidokain. Hal
yang juga menjadi pertanyaan adalah penurunan aliran darah hepar oleh cimetidin
dan perpanjangan efek obat pada pasien gagal ginjal. Disritmia jantung,
hipotensi, cardiac arrest, dan
depresi system saraf pusat pernah terjadi setelah pemberian cimetidin. Efek
samping ini mungkin terjadi pada pasien dengan penyakit berat setelah pemberian
cimetidin IV yang cepat. Diduga, resistensi jalan nafas mungkin meningkat pada
pasien asma karena cimetidin dapat menghasilkan unopposed reseptor H2 yang dapat menyebabkan bronko
konstriksi.
Ranitidin
Ranitidin lebih poten,spesifik, dan kerja lebih lama
dibanding cimetidin. Dosis oaral biasanya 50-200 mg. Ranitidin 50-100 mg yang
diberikan parenteral,akan menurunkan pH cairan gaster dalam 1 jam. Sama
efektifnya dengan cimetidin dalam mengurangi jumlah pasien yang memiliki resiko
aspirasi gaster dan memiliki sedikit efek samping terhadap kardiovaskular dan
SSP. Efek dari ranitidine berlangsung sampai 9 jam. Oleh karena itu, ranitidine
lebih superior dari cimetidin pada prosedur jangka panjang dalam mengurangi
resiko aspirasi pneumonitis selama keadaan bahaya dari anestesi dan extubasi
trakea.
Antagonis Reseptor Histamin
lainnya.
Famotidin adalah penghambat reseptor H2 yang
diberikan preoperatif untuk meningkatkan pH cairan gaster. Farmakokinetik dari
famotidin mirip dengan cimetidin dan ranitidine, dengan pengecualian. Famotidin
memiliki waktu paruh yang lebih lama dibanding keduanya. Famotidin pada dosis
40 mg oral,1,5-3 jam preoperatif menunjukkan efektifitas dalam meningkatkan pH
gaster. Nizatidin 150-300 mg oral, 2 jam sebelum pembedahan, menurunkan asam
gaster preoperatif.
Antasid
Antacid digunakan untuk menetralkan asam dalam gaster.
Antacid dosis tunggal yang diberikan 15-30 menit sebelum induksi anestesi,
hampir 100% efektif dalam meningkatkan pH cairan gaster diatas 2,5. Antacid nonparticulate 0,3 M sodium
citrate,sering diberikan sebelum operasi yang menginginkan peningkatan pH
cairan gaster. Antacid nonparticulate tidak merusak paru jika terjadi aspirasi
pulmonal yang mengandung antacid. Suspensi koloid antacid lebih efektif dalam
meningkatkan pH cairan gaster dibanding antacid nonparticulate. Namun aspirasi
cairan gaster yang mengandung particulate antacid dapat menyebabkan kersakan
paru yang signifikan dan persisten, disamping peningkatan pH cairan gaster.
Sekuele terhadap pulmonal bermanifestasi dalam bentuk edem pulmonal dan
hipoksemi arteri.
Antacid langsung bekerja setelah pemberian. Antacid
efektif pada cairan yang terdapat dalam abdomen. Hal ini menyebabkan antacid
lebih digunakan dalam keadaan emergensi pada pasien yang dapat menerima obat
secara oral.
Bagaimanapun juga, antacid dapat meningkatkan volume
cairan gaster, tidak seperti penghambat reseptor H2. Resiko terhadap
aspirasi tergantung pada pH dan volume isi gaster.
Omeprazole
Omeprazole menekan sekresi cairan lambung dengan cara
berikatan pada pompa proton sel parietal. Pada pasien dewasa diberi dengan
dosis 40 mg iv, 30 menit sebelum induksi. Atau 40-80 mg p.o, 2-4 jam
preoperative. Efek terhadap pH gaster palig lama 24 jam.
Metoklopramid
Metoclopramide adalah antagonis dopamine yang
menstimulasi motilitas gastrointestinal bagian atas, meningkatkan tonus
spingter gastroesofagus, dan relaksasi pylorus dan duodenum. Selain itu, juga
sebagai antiemetik. Metoklopramide mempercepat pengosongan lambung tapi belum
diketahui efeknya pada sekresi asam dan pH cairan lambung. Dapat diberikan
secara oral atau parenteral. Dosis parenteral 5-20 mg biasanya diberikan 15-30
menit sebelum induksi. Dosis per oral 10 mg memiloki onset 30-60 menit. T1/2
metoklopramid kira-kira 2-4 jam.
Penggunaan sebagai obat gastrokinetik adalah pada pasien-pasien yang
jumlah cairan gasternya besar seperti pasien persalinan, pasien yang
dijadwalkan operasi emergensi dan baru saja makan, obesitas, pasien trauma,
rawat jalan, dan pasien DM yang akan dilakukan gastroparesis sekunder.
Bagaimanapun, metoklopramide tidak menjamin pengosongan
lambung. Sejumlah cairan lambung yang bermagna masih mungkin ada meskipun itu
diberikan. Efek metoklopramide pada saluran cerna bagian atas bisa dihalangi
oleh pemberian atropin atau sebelumnya disuntikkan opioid. Mungkin juga tidak
efektif setelah pemberian natrium sitrat. Yang jalas, metoklopramide terutama
akan efektif mengurangi resiko terjadinya a antisialogogue spirasi paru bila
dikombinasi dengan H2 reseptor antagonis (seperti, ranitidine)
sebelum pembedahan elektif.
3. ANTIEMETIK
Droperiol.
Diberikan intravena dosis rendah untuk mencegah mual
muntah postperasi. Kortilla dkk, meneliti bahwa dosis 1,25 mg 5 menit sebelum
operasi berakhir mengurangi kejadian mual mintah setelah operasi. Merekaa
menemukan efek antiemetik droperidol lebih baik dari pada metoklopramide atau
domperidone. Studi lain oleh Santos
dan Datta bahwa droperidol efektif sebagai antiemetik untuk pasien seksio Caesarean dengan anestesi
spinal. Namun, dosis rendah droperidol tidak selalu efektif mencegah mual dan
muntah. Pada dosis tinggi dapat menyebabkan sedasi berlebih sampai di ruang
pemulihan.
Metoklopramide
Seperti telah disebutkan, dapat digunakan sebagai
antiemetik preoperative. Namun masih
controversial dan tidak konsisten.
Ondansetron
Adalah antagonis seseptor serotonin type-3. pemberian
dosis 4-8 mg i.v pada dewasa sebelum induksi, ondansetron menunjukkan
efektivitas iang tinng mencegah mual dan muntah postoperasi. Penggunaannya
preoperative tidak dibenarkan pada banyak populasi tapi harus melalui situasi
terseleksi.
Antiemetik lain
Seperti fenotiazin, terutama prokloperazine memiliki
efek antiemetik. Hidroksizin dan difenidol adalah dua obat lain yang juga
bernilai antiemetik. Walaupun domperidon memiliki efek antiemetik, namun tidak
terbukti mengurangi mual dan muntah postoperasi.
4.
ANTIKOLINERGIK.
Antikolinergik secara luas digunakan saat anestesi
inhalasi diproduksi secret yang
berlebihan oleh saluran nafas dan pad bahaya bradikardi intraoperatif. Indikasi
khusus antikolinergik sebelum operasi adalahsebagai (1) antisialogogue dan (2)
sedasi dan amnesia. Walaupun juga memiliki efek sebagai vagolitik dan
mengurangi sekresi cairan lamung, namun tidak disetujui penggunaannya pada
preoeratif.
Antisialogogue. Antikolinergik telah digunakan secara selektif
mengeringkan saluran nafas atas bila diinginkan. Sebagai contoh, saat intubasi
endotrakeal. Antisialogogue sangan penting pada operasi intraoral dan pada
pemeriksaan jalan nafas seperti bronkoskopi.
Perbandingan
Beberapa Obat Antikolinergik
|
|||
|
Atropin
|
Glycopirolate
|
Scopolamine
|
Increased
heart rate
Antisialogogue
Sedation
|
+++
+
+
|
++
++
0
|
+
+++
+++
|
0=no
effect; + = small effect; ++ = moderate effect; +++ = large effect.
Karena glykopirolate tidak
mudah menembus sawar darah otak, maka tidak dapat bekerja sebagai sedasi.
Sedatif dan amnesia. Kedua scopolamine dan atropine dapat menembuas sawar darah otak namun scopolamine adalah yang selalu dipakai sebagai sedatif terutama bila dikombinasi dengan morfin. Tidak seperti lorazepam atau diazepam, tidak semua pasien dapat berefek amnesia oleh pemberian scopolamine.
Aksi
vagolitik. Aksi vagolitik dari antikolinergik
diperoleh melalui blokade efek asetylkolin pada SA node. Atropin lebih
potensial disbanding glykopirolat dan scopolamine. Aksi vagolitik ini berguna
mencegah refleks bradikardi selama operasi. Bradikardi bias terjadi akibat
traksi otot ekstraorbital, otot abdomen, stimulasi sinus carotis, atau setelah
pemberian berulang suksinylkolin. Atropine dan glykopirolat diberikan
intravena.
Elevasi kadar pH cairan gaster. Dosis tinggi antikolinergik sering
diperlukan untuk mengubah kadar pH. Namun demikian, saat preoperative
antikolinergik tidak dibenarkan untuk menurunkan sekresi H+ lambung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar