Jumat, 29 Maret 2013

PENATALAKSANAAN JALAN NAPAS


Chapter 23
PENATALAKSANAAN JALAN NAPAS

            Tugas terpenting dari ahli anestesiologi adalah manajemen jalan napas pasien.  Meskipun banyak disiplin kedokteran yang menangani masalah jalan napas berdasarkan masalah kegawatdaruratan, namun hanya beberapa yang bertanggung jawab atas rutinitas, pertimbangan, pilihan dari keadaan intrinsik pasien terhadap kontrol pernapasan.  Data morbiditas dan mortilitas yang telah dipublikasikan menunjukkan dimana kesulitan dalam menangani jalan napas dan kesalahan dalam tatalaksananya justru akan memberikan hasil akhir yang buruk bagi pasien tersebut.  Keenan dan Boyan melaporkan bahwa kelalaian dalam memberikan ventilasi yang adekuat menyebabkan 12 dari 27 pasien yang sedang dioperasi mengalami mati jantung (cardiac arrest).  Salah satu penyebab utama dari hasil akhir tatalaksana pasien yang buruk yang didata oleh American Society of Anesthesiologist (ASA) berdasarkan studi tertutup terhadap episode pernapasan yang buruk, terhitung sebanyak 34% dari 1541 pasien dalam studi tersebut.  Tiga kesalahan mekanis, yang terhitung terjadi  sebanyak 75% pada saat tatalaksanan jalan napas yaitu : ventilasi yang tidak adekuat (38%), intubasi esofagus (18%), dan kesulitan intubasi trakhea (17%).  Sebanyak 85% pasien yang didapatkan dari studi kasus, mengalami kematian dan kerusakan otak.  Sebanyak 300 pasien (dari 15411 pasien di atas), mengalami masalah sehubungan dengan tatalaksana jalan napas yang minimal.  Menurut Cheney et al menyatakan beberapa hal yang menjadi komplikasi dari tatalaksana jalan napas yang salah yaitu : trauma jalan napas, pneumothoraks, obstruksi jalan napas, aspirasi dan spasme bronkus.  Berdasarkan data-data tersebut, telah jelas bahwa tatalaksana jalan napas yang baik sangat penting bagi keberhasilan proses operasi dan beberapa langkah berikut adalah penting agar hasil akhir menjadi baik, yaitu : (1) anamnesa dan pemeriksaan fisik, terutama yang berhubungan dengan penyulit dalam sistem pernapasan, (2) penggunaan ventilasi supraglotik ( seperti face mask, Laryngeal Mask Airway/LMA), (3) tehnik intubasi dan ekstubasi yang benar, (4) rencana alternatif bila keadaan gawat darurat terjadi.

ANATOMI JALAN NAPAS
            Kata “jalan napas” (atau airway, dalam bahasa Inggris), mengarah kepada saluran pernapasan  atas, yang terdiri dari rongga hidung dan rongga mulut, faring, laring, trakhea dan brokus.  Jalan napas pada manusia merupakan suatu saluran udara yang sangat penting dan saling berhubungan.  Karena jalan oroesofageal dan nasotraheal bersilangan, terjadilah suatu evolusi atau perubahan secara anatomis dan fungsional  untuk melindungi jalan napas sublaringeal agar tidak terjadi aspirasi makanan yang melewati faring.  Secara anatomis, pertumbuhan dan perkembangan saluran pernapasan atas sangat kompleks selama masa neonatal dan anak-nak, dan  berjalan sesuai dengan ukuran dan bentuk, dan hal ini disesuaikan lagi dengan ukuran tulang servikal.  Hal ini serupa dengan sistem lainnya dalam tubuh, pertumbuhan dan perkembangan saluran napas atas dipengaruhi oleh genetik, nutrisi dan hormonal.  Tabel berikut ini menunjukan perbedaan anatomis laryng antara orang dewasa dengan bayi.
Tabel 23.1  PERBEDAAN ANATOMIS ANTARA ANAK DAN ORANG DEWASA
  • Secara proporsional, ukuran pada anak lebih kecil
  • Bagian tersempit: kartilago krikoid pada anak; plika vokalis pada orang dewasa
  • Daerah vertikal : C3, C4, C5 pada anak; C4, C5, C6 pada orang dewasa
  • Epiglottis : pada anak lebih panjang, lebar dan kaku
  • Pada anak, plika ariepiglotika lebih dekat ke daerah midline
  • Pita suara: pada anak, sudut anterior bersinggungan secara tegak lurus dengan laring
  • Pada anak kartilago laryng dapat dibengkokkan
  • Mukosa pada anak cenderung mudah rusak karena tindakan manipulatif

            Tulang di daerah laring terdiri dari sembilan kartilago (terdapat tiga pasang ditambah tiga lainnya),yang secara bersama-sama tulang rawan ini membentuk “rumah” bagi plika vokalis, yang terbentang dari anterior sampai poterior (kartilago thiroid sampai kartilago arytenoid).  Kartilago thyroid yang berbentuk seperti tameng, bertindak sebagai pelindung di bagian anterior bagi pita suara.  Otot-otot laring terdiri dari dua grup otot yaitu otot ekstrinsik yang bertugas menggerakkan laring, dan otot intrinsik yang tugasnya berhubungan dengan otot-otot pada kartilago laring.  Laring dipersarafi secara bilateral oleh dua cabang saraf dari nervus vagus: nervur laringeus superior dan nervus laringeus rekuren.  Oleh karena nervus laringeus rekuren mempersarafi otot intrinsik laring (kecuali kartilago krikothiroid), adanya trauma pada saraf ini dapat menyebabkan kerusakan pita suara.  Sebagai akibat dari trauma saraf unilateral, fungsi jalan napas masih baik, tetapi kemampuan laring mencegah terjadinya aspirasi menjadi menurun.
            Membran krikothiroid memberikan perlindungan di ruang krikotiroid.  Membran ini, berukuran 9mm x 3mm, terdiri dari jaringan kekuningan yang elastis yang terletak tepat di bawah jaringan subkutan kulit dan di daerah wajah.  Membran ini terletak di daerah anterior leher, yang berbatasan dengan kartilago thyroid di superior dan kartilago krikoid di inferior.  Membran ini dapat dirasakan 1-1,5 jari di bawah tonjolan laringeal (thyroid notch, atau Adam’s apple).  Dua pertiga atas dari membran ini dilalui oleh anastomosis dari arteri krikothiroid superior kiri dan kanan yang berjalan secara horisontal.  Di tengah membran terdapat suatu tonjolah yang disebut conus elasticus, dan dua tonjolan besar lainnya yang terletak di daerah lateral, yang lebih tipis dan melekat di mukosa laring.  Akibat adanya variasi anatomis terhadap jalannya pembuluh vena dan arteri serta letaknya yang berdekatan dengan plika vokalis ( yaitu 0,9cm di atas ligamen teratas), maka disarankan bahwa segala bentuk insisi dan pungsi terhadap membran ini, dapat dilakukan pada sepertiga bawah dan diarahkan ke posterior.
            Pada bagian dasar dari laring, terdapat karilago krikoid yang berbentuk cincin, dan  kartilago ini “menggantung” dari bagian bawah membran krikotiroid.  Kartilago krikoid berukuran 1cm di anterior dan 2cm di daerah posterior.  Trakhea dihubungkan dengan kartilago krikoid oleh ligamen krikotrakheal.  Trakhea memiliki panjang ~15cm pada orang dewasa dan terdiri dari 17-18 buah kartilago yang berbentuk “C” dan di daerah posterior terdapat membran yang berbatasan dengan esofagus.
            Cincin trakhea yang pertama , sejajar dengan tulang servikal keenam (C6).  Tulang-tulang rawan trakhea saling dihubungkan dengan jaringan fiborelastik, yang memudah peregangan dari trakhea baik panjang dan diameternya pada saat proses inhalasi/ekspirasi dan pada saat fleksi/ekstensi leher.  Trakhea berakhir di karina, yaitu pada vertebra thorakalis kelima (Th5),  dan bercabang menjadi dua cabang bronki.  Bronkus kanan memiliki diameter yang lebih besar bila dibandingkan dengan yang kiri dan membentuk sudut yang lebih besar dengan trakhea.  Karena bronkus ini merupakan cabang langsung dari trakhea, maka bahan-bahan yang teraspirasi, atau bahkan tube, cenderung lebih mudah masuk ke bronkus kanan.  Cincin tulang rawan akan melindungi bronki sampai tujuh percabangan terakhir.

ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN FISIK
Evaluasi preoperatif harus mencakup anamnesa atau riwayat terutama yang berhubungan dengan jalan napas  atau gejala-gejala yang berhubungan dengan saluran pernapasan atas.  Bila mungkin, perlu dilakukan dokumentasi terhadap masalah-masalah yang berhubungan dengan saluran pernapasan atas.  Tanda dan gejala yang berhubungan dengan jalan napas harus dijelaskan misalnya snoring atau mengorok ( misalnya pada sleep apnea yang obstruktif), gigi terkikis, perubahan suara, disfagi, stridor, nyeri servikal atau pergerakan leher yang terbatas, neuropathi ekstremitas atas, nyeri atau disfungsi sendi temporomandibular dan nyeri tenggorokan atau rahang yang berlangsung lama setelah pembiusan.  Banyak kelainan kongenital dan gejala yang didapat , berhubungan dengan penyulit tatalaksana jalan napas.(Lihat tabel 23.2)
            Suatu keadaan yang patologis dapat ditemukan pada saat dimulai dilakukannya tindakan anestesi, misalnya pada saat induksi atau ketika laringoskop dipasang, misalnya pada pasien dengan kesulitan dilakukan mask ventilation, laringoskopi maupun LMA dikarenakan adanya suatu massa di leher yang baru ditemukan pada saat itu.
            Secara umum, intubasi sulit dilakukan akibat kondisi berikut ini : (1) timbulnya masalah atau kondisi yang tidak memungkinkan untuk intubasi (misal perut penuh, open globe), (2) anatomi saluran napas yang abnormal, (3) keadaan gawat darurat, (4) trauma langsung pada laryng dan atau trakhea.  Pemeriksaan fisik harus lebih terfokus pada keadaan gigi geligi, adanya janggut, ukuran mulut, kemampuan peregangan jaringan lunak di daerah submandibula, ekstensi atlantooksipital, identifikasi membran krikothiroid dan adanya kelainan patologis di faring.  Meskipun penemuan anatomi yang abnormal kemungkinan tidak sepenuhnya menyebabkan kesulitan dalam bernapas, tetapi kita tetap perlu berhati-hati.  Beberapa peneliti telah menemukan bentuk anatomis yang tidak menguntungkan apabila dilakukan tindakan laringoskop direk; sendi yang tidak proporsional, adanya distorsi, terbatasnya gerak sendi, dan tergigit.  Dalam usaha-usaha pertama untuk menjelaskan keadaan anatomi yang berhubungan dengan intubasi yang sulit, Cass et al menekankan pada keadaan leher pendek dengan jumlah gigi lengkap, letak mandibula yang lebih ke posterior dengan sudut mandibula yang lebar, gigi insisifus di maksila yang menonjol, gerakan terbatas dari sendi temporomandibula, palatum yang tinggi dan bersudut, dan meningkatnya jarak alveolar-mental.  Studi radiografik pertama, menunjukkan kedalaman di daerah posterior mandibula (suatu jarak antara alveolar yang bertulang yang terletak di belakang gigi molar ketiga dan batas bawah mandibula) adalah faktor penting yang menentukan sulit tidaknya laringoskopi.  Lalu, terdapat jarak thiro-mental, suatu jarak yang berawal dari ujung mentum sampai dengan tonjolan thiroid, yang dikatakan sebagai suatu pengukuran yang sangat penting dan perlu dievaluasi.  Bila hasil pengukuran kurang dari 6 cm, maka kesulitan dalam tindakan laringoskopi sudah pasti timbul.  Konsep ini diperluas oleh Savva, seorang yang mengukur jarak sternomental dengan kepala dalam keadaan ekstensi maksimal.  Pada perhitungan ini ditambahkan keadaan sendi atlanto-oksipital ke dalam penilaian.  Bila hasil pengukuran kurang dari 12 cm akan memberikan hasil yang positif.  Bila perhatian kita fokuskan pada keadaan rongga mulut, Mallampati menyarankan bila basis lidah memiliki ukuran besar dan tidak proporsional, maka kemungkinan besar sulit dilakukan laringoskopi dan intubasi; penyulit timbul selain karena keadaan anatomis teteapi juga karena sudut antara basis lidah dan laring yang sempit.  Keadaan anatomis ini juga menyebabkan glotis sukar dilihat.  Kebalikannya, secara logika, tentu saja lidah yang proporsional tidak akan menghalangi jalan atau saluran menuju laryng, sudut tidak sempit atau terbatasnya gerakan persendian.  Lidah yang sangat besar tidak hanya menghalangi laryng, tetapi juga menutupi ruangan faringeal dan struktur lainnya, termasuk palatum, uvula dan pilar fausial.  Untuk melihat tanda klinis ini, pasien diminta duduk dengan kepala dalam posisi netral, membuka mulut selebar-lebarnya dan menjulurkan lidahnya semaksimal mungkin.  Klasifikasi Mallampati berdasarkan pada seberapa jauh basis lidah mampu menutupi struktur daerah faring.  Samson dan Young memodifikasi klasifikasi Mallampati dengan menambah kelas keempat, yang menggambarkan suatu keadaan yang ekstrim dari Mallampati kelas III, di mana palatum mole tertutup seluruhnya oleh lidah(tabel 23.3).  Dalam “kelas IV” ini, hanya palatum durum saja yang masih tampak.  Hubungan yang signifikan ditemukan antara kelas dan derajat jalan napas dari sulit tidaknya penampakan glotis melalui laringoskopi direk.  Penilaian yang praktis dari metode ini dilihat dari mudahnya aplikasi.  Sayangnya, indeks ini, sama dengan sebagian lainnya, tidak terbukti cukup sensitif maupun spesifik dalam menentukan sulit tidaknya mengintubasi pasien.  Dalam percobaan dari 675 pasien, indeks ini ditemukan hanya 5 dari 12 kesulitan tatalaksana jalan napas dan memberikan hasil 139 positif salah.
            Perlu dicatat bahwa pemeriksaan tradisonal dari jalan napas, termasuk klasifikasi Mallampati/Samson dan Young, jarak thiromental dan jarak sternomental lebih menunjukkan ke arah kemampuan klinisi untuk melakukan laringoskopi direk, tetapi hanya sebagian kecil yang mampu menggunakan  peralatan ventilator supraglotis ( contohnya LMA, Cuffed Orophrayngeal Airway[COPA], Tracheal Esophageal Combitube) atau alat penunjuk visual indirek (contohnya bronkoskopi fiberoptik, Bullard laryngoscope).

MANAJEMEN KLINIS DARI JALAN NAPAS
Preoksigenasi
Preoksigenasi (disebut juga “denitrogenasi”) harus dipraktekkan bila waktu memungkinkan.  Prosedur ini menyebabkan pergantian volume nitrogen di paru (meningkat sampai 69% dari kapasitas residu fungsional [FRC]) dengan oksigen untuk menyediakan suatu tempat untuk proses difusi dalam pembuluh darah kapiler alveolus setelah terjadinya apneu.  Preoksigenasi dengan 100% O2 dan ventilasi spontan dengan face mask selama 5 menit dapat memeberikan persediaan O2 untuk 10 menit setelah terjadi apneu (pada pasien tanpa penyakit kardiovaskuler dan konsumsi oksigen normal).  Pada satu penelitian pasien yang sehat dan tanpa obesitas, dimana mereka diminta untuk menghirup O2 100% preoperatif, ternyata konsentrasi saturasi O2 dari pasien-pasien tersebut dapat dipertahankan lebih dari 90 % selama 6 ± 0,5 menit, sedangkan pada pasien dengan obesitas mengalami desaturasi oksihemoglobin hingga kurang dari 90 % dalam 2,7 ± 0,25 menit.  Udara pernapasan pasien (21% O2) akan mengalami desaturasi oksihemoglobin hingga kurang dari 90% setelah kurang 2 menit dalam kondisi yang ideal.  Pasien dengan gagal napas, atau menderita suatu keadaan yang mempengaruhi metabolisme atau volume paru, biasanya akan mengalami desaturasi lebih cepat, disebabkan karena meningkatnya ekstraksi O2, FRC yang menurun atau hubungan transpulmoner.  Penyebab yang sering terjadi karena tidak tercapainya maximum alveolar FI02 selama preoksigenasi adalah karena sungkup yang kurang menutup, yang menyebabkan udara ruangan masuk.  Adapun metode preoksigenasi lainnya, dengan waktu yang lebih singkat, dijelaskan berikut ini.  Metode ini menggunakan 4 seri kapasitas vital pernapasan dari 100% O2  selama lebih dari periode 30 detik, PaO2 yang tinggi (339 torr) dapat dicapai, tetapi waktu terjadinya desaturasi menjadi lebih pendek bila dibanding dengan teknik bernapas dengan O2 100% selama 5 menit.  Suatu teknik kapasitas vital yang telah dimodifikasi, dimana pasien diminta untuk mengambil 8 kali napas panjang dengan selang 60 detik, menunjukkan adanya terjadinya desaturasi menjadi lebih lama.  Saya memilih teknik  yang menggunakan sungkup wajah yang ketat selama 3 menit atau lebih dari volume pernapasan tidal/tidal volume breathing; sungkup dipasang segera setelah pasien dibuat merasa nyaman di meja operasi dan tetap dipasang selama insersi kateter intravena dan pemasangan monitor.  Insuflasi oksigen ke dalam faring adalah teknik yang dinyatakan  dapat  memperpanjang waktu untuk mempertahankan saturasi oksihemoglobin >90% seorang pasien yang apneu.  Dalam teknik ini oksigen dimasukkan selama 31· min-1 melalui kateter yang dimasukkan melalui hidung.  Teknik ini bergantung pada fenomena oksigenasi pada pasien apneu, suatu proses dimana gas masuk ke dalam ruang selama terjadinya apneu, selama jalan napas bebas.  Proses ini menyediakan oksigen yang cukup untuk mempertahankan saturasi hemoglobin untuk periode lama.  Hal ini berdasarkan keadaan menurunnya tekanan intrathorakal, setara dengan tekanan atmosfir, memproduksi kurang lebih 210 cm3 oksigen yang berdifusi ke dalam pembuluh darah alveolus setiap menit sementara sedikitnya 12 cm3 karbondioksida berdifusi ke dalam ruang alveolus (karbondioksida yang tersisa akan mengalami proses buffer dalam darah dan jaringan).  Karbondioksida alveolus tidak berpindah atau hilang dalam keadaan ini, sehingga teknik ini memiliki waktu yang terbatas.

Dukungan Terhadap Jalan Napas Pada Induksi Anestesi
Adanya induksi anestesia dan terjadinya apneu, maka proses ventilasi dan oksigenasi dibantu oleh ahli anestesi.  Metode tradisional yang digunakan yaitu pemakaian sungkup wajah dan trakheal tube.  Baru-baru ini, terdapat alat bantu pernapasan supralaringeal baru yang telah diperkenalkan secara global.  Salah satunya yaitu Laryngeal Mask Airway (LMA) telah dapat diterima di antara para ahli anestesi di Amerika Serikat, dimana penggunaannya mencapai 35% dari semua kasus anestesia umum.  Alat ini dan beberapa alat yang serupa akan dibahas secara ektensif, karena munculnya alat-alat tersebut menyebabkan adanya perubaha dalam tatalaksana jalan napas.

Sungkup Anestesi
Sungkup anestesi adalah salah satu alat yang paling sering digunakan untuk mengalirkan gas anestesi dan oksigen, serta sebagai alat ventilasi pasien dalam keadaan apnea.
            Untuk menguasai penggunaan sungkup wajah yang benar adalah suatu tantangan dan meskipun banyak terdapat kemajuan dalam hal penatalaksanaan jalan napas, tetap saja sungkup wajah lebih terpilih karena memiliki fungsi utama sebagai alat untuk mengalirkan gas anestesi dan sebagai alat resusistasi.  Ketika induksi dimulai, status kesadaran pasien yang mulanya sadar, dengan jalan napas jalan kompeten dan terlindungi, menjadi tidak sadar dimana jalan napas menjadi tidak terlindungi dan berpotensi timbul obstruksi.  Pada saat induksi terjadi depresi pusat pernapasan akibat pengaruh obat anestesi yang disertai dengan relaksasi otot-otot saluran pernapasan atas sehingga kemungkinan dapat timbul hiperkapnea dan hipoksia.  Oleh karena itu, ventilasi dengan bantuan sungkup wajah sangat berperan penting dalam penatalaksanaan jalan napas.
            Posisi pasien yang benar merupakan kunci sukses penggunaan sungkup wajah yang tepat.  Posisi pasien dalam keadaan supine, dimana kepala dan leher diposisikan dalam keadaan menghirup (sniffing position).  Dengan posisi ini, ventilasi berlangsung baik karena basis lidah terdorong ke arah anterior dan terbentuk suatu jalur mulai dari rongga mulut, faring dan trakhea sehingga memudahkan laringoskopi.
            Sungkup diletakkan pada wajah pasien, meliputi mulut dan hidung, dengan menggunakan tangan kiri.  Tali pengikat yang elastis digunakan agar sungkup tidak bergeser; dapat digunakan pada pasien yang sadar, maupun yang tidak sadar karena pembiusan dengan pernapasan spontan dan tidak terdapat obstruksi.  Tali pengikat ini sangat membantu bagi seorang klinisi yang memiliki jari-jari yang pendek.  Tetapi, perlu diingat bahwa pemakaian tali pengikat yang terlalu lama dan ketat dapat meyebabkan neuropraksia sensoris dan motoris.
            Setelah dilakukan induksi, sungkup dipegang dengan erat, yaitu dengan cara meletakkan ibu jari dan telunjuk pada sungkup, sedangkan tiga jari lainnya memegang rahang bawah pasien.  Mandibula diusahakan ditarik ke atas.   Pada saat memegang sungkup, connector atau sambungan sungkup terletak di antara ibu jari dan telunjuk ahli anestesi lebih ke arah kanan, sehingga sungkup di bagian kanan tertutup, sementara telapak tangan kiri menahan bagian kiri sungkup.  Saat menahan rahang bawah, jari tengah berada tepat di bawah mentum, dan jari  lainnya berada di bawah sudut temporomandibula, sepanjang temporomandibular ridge. Manuver ini dikenal sebagai jaw thrust, yang berfungsi untuk mendorong jaringan lunak ke arah anterior sehingga daerah faring bebas obstruksi dan ventilasi terjadi dengan lancar.  Pada pasien dengan kegemukan, memiliki kelainan gigi, berjanggut, diperlukan dua tangan atau tali pengikat agar sungkup benar-benar tertutup.  Karena diperlukan dua tangan, maka dibutuhkan operator kedua untuk melaksanakan proses ventilasi.



Tabel 23-2.  Sindrom yang berperan sebagai penyulit dalam tatalaksana jalan napas
Keadaan Patologis
Keadaan Klinis yang Mempengaruhi Jalan Napas
Kongenital
Sindroma Pierre Robin

Sindroma Treacher Collins      (dysostosis mandibulofacial)
Sindroma Goldenhar’s (okulo-aurikula-vertebral)
Sindroma Down

Sindrom Klippel-Feil
Sindrom Alpert

Sindrom Beckwith (infantile gigantisme)
Cherubism
Cretinismus

Sindrom Cri du Chat

Sindrom Meckel
Von Recklinghausen disease

Sindrom Hurler

Sindrom Hunter

Sindrom Pompe

DIDAPAT
Infeksi
Supraglotis
Croup
Abses (intraoral, retrofaringeal)
Papilomatosis


Ludwig’s Angina
Arthritis
Rheumatoid arthritis

Spondilitis ankilosis


Tumor Jinak
Kistik higroma,lipoma, adenoma, goiter
Tumor Ganas
Karsinoma lidah, laryng, thiroid

Trauma
Trauma kepala, wajah, tulang servikal
Lain-lain
Obesitas
Akromegali
Combustio

Micrognasia, makroglossia, glossoptosis, cleft soft palate

Defek telinga dan mata, hipoplasi malar dan mandibula, mikrostomia, atresia choane
Defek telinga dan matal; hipoplasia malar dan mandibula; oksipitalisasi tulang atlas
Jembatan hidung tidak terbentuk dengan baik; makroglosia;mikrosefalus;kelainan tulang servikal
Penyatuan tulang servikal, terbatasnya gerakan leher
Hipoplasia maksila; cleft soft palate; kelainan tulang rawan di tracheobronchial
Makroglossia

Lesi menyerupi tumor di mandibula dan maksila di rongga mulut
Hilangnya jaringan thiroid; makroglossia; goiter; penekanan pada trakhea, deviasi laryng atau trakhea
Abnormalitas kromosom 5P; mikrosepal; mikrognathia; laryngomalacia, stridor
Mikorsepalus, mikrognasia, celah pada epiglotis
Meningkatnya kejadian pheochromocytoma; tumor dapat muncul di laryng dan
Kaku sendi, obstruksi saluran napas atas akibat infiltrasi jaringan limfoid; abnormalitas kartilago trakeobronkial; ISPA berulang
Sama dengan sindrom Hurler, tetapi lebih berat; pneumonia

Deposit otot, makroglossia



Edema laryng
Edema laryng
Distorsi dan stenosis jalan napas dan trismus
Infeksi virus kronis yang membentuk papiloma yang obstruktif, terutam di suprlagotis. Perlu pembedahan. Dapat berpindah ke subglotis setelah trakeostomi.
Distorsi dan stenosis jalan napas dan trismus


Ankilosis sendi temporomandibula, artritis krikoarytenoid, deviasi laryng, terbatasnya gerakan leher
Ankilosis tulang servikal, jarang terjadi di daerah temporomandibula, terbatasnya gerakan leher.

Stenosis atau distorsi jalan napas


Stenosis atau distorsi jalan napas; laryng terfiksasi oleh jaringan fibrosis akibat radiasi

Rhinorrhea, edema saluran napas, perdarahan, fraktur maksila dan mandibula, kerusakan laryng, dislokasi vertebra servikal

Leher pendek dan tebal, lidah yang besar
Makroglossia, prognatismus
Edema saluran napas

            Perlu diingat, bahwa pasien dengan compliance paru yang normal, memerlukan tekanan kurang dari 20-25 cm H2O untuk mengembangkan paru.  Bila tekanannya lebih, klinisi tersebut harus melakukan evaluasi ulang jalan napas, lalu mengusahakan agar sungkup pas pada wajah pasien, mencari bantuan operator kedua dan atau mempertimbangkan untuk menggunakan alat lainnya yang dapat memberikan udara yang mengalir ke saluran pernapasan atas, dengan jalur yang terbuka.  Penggunaan pipa orofaring atau nasofaring dapat menciptakan suatu saluran buatan di antara langit-langit mulut, lidah dan dinding posterior faring.
            Pipa orofaring (oral airways), yang memiliki berbagai jenis ukuran, dapat merangsang pasien yang kurang sadar dan menimbulkan batuk, muntah dan atau spasme laring.  Pasien harus berada dalam keadaan teranestesi, bila pipa orofaring akan dimasukkan.  Hal serupa berlaku juga untuk pemasangan LMA atau COPA.  Pipa nasofaring (nasal airways) kurang merangsang pasien, tetapi dapat menyebabkan trauma pada rongga hidung dan perdarahan sehingga pemakaiannya memerlukan perhatian khusus, terutama pada pasien dengan kelainan koagulopathi atau deformitas nasal.  Peralatan ini merupakan  kontraindikasi bagi pasien dengan fraktur basal tengkorak.
            Timbulnya obstruksi pada ventilasi dengan sungkup, dapat disebabkan adanya spasme laring, karena adanya penutupan intrinsik  dari plika vokalis. Spasme laring timbul akibat masuknya benda asing (contohnya oral atau nasal airway), saliva, darah atau muntah karena glotis tersentuh, atau mungkin juga karena anestesia yang ringan.  Hipoksia dapat terjadi, bila ventilator secara spontan terus menerus memompa udara ke arah pita suara yang tertutup.  Untuk menghilangkan spasme laring, maka segala bentuk perangsangan atau tindakan yang dapat merangsang laring harus dihilangkan.  Aliran udara tekanan positif tetap diberikan secara kontinyu, memperdalam status anestesi dan menggunakan obat relaksasi otot kerja cepat.
            Apabila tidak ditemukannya hal-hal yang menjadi kontraindikasi (misalnya perut penuh, risiko terjadinya aspirasi), ventilasi dengan sungkup dapat digunakan selama manintenance.  Atau dapat juga, sungkup ini hanya digunakan untuk mengalirkan gas anestesi saja sampai status anestesi yang diinginkan tercapai, dan digunakan alat lain untuk mendukung jalan napas (misal: trakheal tube).  Keputusan ini dibuat berdasarkan pertimbangan adakah penyakit yang menjadi penyulit atau keperluan pembedahan.

Laryngeal Mask Airway (LMA)
LMA pertama kali diperkenalkan ke dalam praktek klinik pada tahun 1980an dan disetujui sebagai alat pengganti sungkup wajah selama anestesia elektif oleh badan Food and Drug Administration dari Amerika Serikat pada tahun 1991.  LMA juga direkomendasikan sebagai pengganti tracheal tube, pada kasus-kasus dimana intubasi trakhea tidak diperlukan.  Walaupun penggunaanya masih terbatas, peran LMA berkembang sepanjang waktu dan saat ini dilaporkan terdapat 23 % proses anestesi telah menggunakan LMA.

Desain LMA
LMA terdiri dari sebuah sungkup kecil, yang dibuat agar dapat masuk ke hipofaring, dengan lubang di bagian permukaan anterior yang berhadapan dengan jalan masuk dari laring.  Bagian pinggir dari sungkup terdiri dari cuff silikon yang dapat ditiup dan cuff ini akan mengisi ruang hipofaring, membentuk suatu segel yang memungkinkan masuknya tekanan positif ventilasi hingga mencapai 20 cm H2O.  Segel yang adekuat ini tergantung dari penempatan yang tepat dan ukuran yang sesuai.  Segel ini tidak tergantung pada tekanan udara dalam cuff.  Pada bagian posterior dari sungkup ini terdapat barel ( airway tube) yang memanjang mulai dari bagian sentral sungkup hingga mulut dan dapat disambungkan dengan ambu bag atau sirkuit anestesi.
            Berbagai macam ukuran tersedia, mulai dari LMA untuk pasien neonatal hingga dewasa. Pemilihan ukuran LMA sangat penting, agar tatalaksana jalan napas berlangsung dengan baik dan juga segala bentuk komplikasi pada saat pemakaian dapat dicegah.
            Para produsen LMA merekomendasi bahwa sebaiknya para klinisi memilih ukuran yang paling besar yang dapat masuk ke dalam rongga mulut, kemudian meniupkan cuff dengan tekanan minimum, sehingga tekanan ventilasi dapat mencapai 20 cm H2O tanpa adanya kebocoran.  Tekanan di dalam cuff tidak boleh melebihi 60 cm H2O (dan harus selalu dimonitor secara periodik bila N2O digunakan untuk anestesi).  Bila segel yang adekuat tidak dapat dicapai hingga tekanan 60 cm H2O, ada kemungkinan terjadi malposisi LMA atau ukurannya tidak sesuai.  Anestesia yang ringan juga dapat menyebabkan segel menjadi kurang sempurna atau mengakibatkan timbulnya spasme laring parsial atau komplit.

Tabel 23.3.  Klasifikasi Mallampati/Samsoon-Young berdasarkan penampakan dari orofaring
  • Kelas I
  • Kelas II
  • Kelas III
  • Kelas IV
Tampak uvula, pilar fausial dan palatum mole
Pilar fausial dan palatum mole terlihat
Palatum durum dan palatum mole masih terlihat
Palatum durum sulit terlihat

Insersi LMA
Insersi LMA, seperti digambarkan oleh penemunya Dr. Archie J.L. Brain, telah mengalami banyak modifikasi oleh  beberapa penulis. Dalam tulisan ini akan dibahas berbagai variasialternatif tersebut. Pemikiran awal Dr. Brain tentang tentang alat ini adalah sebuah prose alami dan rutin kita alami yaitu menggantikan “benda asing” di hipofaring – makanan. Dr. Brain berniat meniru penempatan makanan di hipofaring sehingga memungkinkan untuk menempatkan sebuah alat yang kemudian berfungsi sebagai jalan nafas.
            Untuk mengerti teknik insersi, kita harus mengetahui terlebih dahulu proses deglutinasi : lubrikasi oleh saliva, pembentukan bolus makanan oleh lidah, dimulainya refleks menelan akibat stimulasi makanan,  peningkatan tekanan lidah menghimpit bolus makanan terhadap palatum; mengarahkan bolus kearah dinding faring posterior, masuk ke dalam hipofaring mengikuti bentuk palatum dan  dinding faring; ekstensi kepala dan fleksi leher membuka ruangan di belakang laring sehingga memungkinkan perjalanan bolus kedalam hipofaring sampai akhirnya mencapai spingter esophagus bagian atas kemudian memasuki esophagus. Fungsi tersebut memungkinkan makanan mencapai esophagus dengan sendirinya, menghindari struktur faring anterior  dan respon refleks yang berarti melindungi jalan nafas.  
            Metode insersi prototype melingkupi rotasi sampai 180º dan diawali dengan penggunaan introducer untuk menghindari epiglottis terlipat ke bawah. Teknik yang dewasa ini dianjurkan, diilustrasikan pada gambar 23-10 terbukti kurang traumatik dan mempunyai tingkat kesuksesan 98%. Pada teknik ini, sungkup dilubrikasi dengan lubrikan non silikon yang tidak mengandung anestesi lokal (diumpamakan sebagai saliva), kemudian dikempiskan sampai membentuk baji datar dan tipis (seperti makanan yang telah dikunyah). Tanganoperator yang tidak dominan ditempatkan dibawah oksiput untuk mememfleksikan leher ke dada dan mengektensikan kepala terhadap  sendi atlanto-occipital (membuat ruang di belakang laring: tindakan ini bertujuan untuk membuka mulut). Jari telunjuk tangan yang dominan ditempatkan di celah antara sungkup dan barrel. Hard Palatum diperlihatkan dan  permukaan superior sungkup ditempatkan di daerah tersebut. Dengan menggunakan jari telunjuk diberikan gaya keatas kearah kepala pasien. Hal ini akan mnyebabkan sungkup menempel pada palatum dan mengikuti bentuk palatum selama menyusuri faring dan hipofaring. Jari telunjuk tetap memberi tekanan di celah tersebut sampai dirasakan adanya tahanan dari spingter esofagus superior. Kesalahan yang biasa dilakukan adalah memberikan tekanan kearah vektor posterior. Hal ini cederung menyebabkan ujung LMA melekat pada dinding faring posterior sehingga terlipat yang berakibat kesalahan letak dan trauma.
            Pada saat insersi selesai, untuk mengeluarkan tangan yang digunakan untuk insersi dilakukan dengan menstabilkan barrel LMA mengunakan tangan yang tidak dominan.  Sebelum dihubungkan dengan sirkuit anestesi, LMA dikembangkan dengan sejumlah gas untuk mementuk tutup yang efektif.  Meskipun  sulit menentukan jumlah gas yang diperlukan, operator harus memeriksa balon pilot ketika dikembangkan pada tekanan maksimal yang dianjurkan yaitu 60 cm H2O. Sejalan dengan itu, harus ada yang memperhatikan kenaikan karitilago krikoid dan tiroid serta pengangkatan barrel keluar sekitar 1 cm saat sungkup mengangkat spingter atas esofagus. Sungkup difiksasikan pada posisinya dengan membawa barrel ke dagu dan diplester tepat di garis tengah sambil memberikan sedikit tekanan terhadap palatum. Jika posisi midline tidak memungkinkan karena proses operasinya atau posisi pasien, penggunaan LMA yang fleksibel perlu dipertimbangkan. Pengunaan bite block direkomendasikan untuk menghindari barrel LMA tergigit atau oklusi.

LMA dan refluks gastroesofagus
Meskipun ujung sungkup LMA berada di pintu masuk esofagus, namun tidak menutupnya secara sempurna. Persepsi klinik yang dominan adalah LMA tidak melindungi trakea dari regurgitasi isi gaster.  Sejak Desember 1999, hanya 20 kasus curiga aspirasi pulmonal yang telah dilaporkan (dengan perkiraan penggunaan LMA sekitar 100.000 di seluruh dunia).  Hanya 12 yang dibuktikan sebagai asprasi dan tidak ada yang menyebabkan kematian, meskipun 5 pasien membutuhkan ventilasi tekanan positif. Terdapat beberapa faktor predisposisi diantaranya obesitas, demensia, operasi emergensi,operasi abdomen atas, posisi tredelenburg, insuflasi intraperitoneal dan jalan nafas yang sulit. Jika digunakan pada pasien dengan resiko rendah untuk regurgitasi, tingkat aspirasi pada pemasangan LMA sama saja dengan semua anestesi umum non-LMA (~2 dari 10.000 kasus), meskipun insidensi refluks gastroesofagus dapat meningkat jika dibandingkan dengan penggunaan face mask.
            Beberapa bukti menunjukkan kemungkinan terjadi refluks gastroesofagus selama penggunaan LMA dengan pasien pada posisi Tredelenburg atau litotomi. Jika diketahu terdapat isi lambung pada tabung LMA, tindakan yang sama pada penggunaan ETT harus dilaksanakan : Posisi Tredelenberg, oksigen 100%, biarkan LMA pada tempatnya dan gunakan suction yang fleksibel ke dalam tabung, perdalam anestesi jika dibutuhkan.
            Ketika dilakukan penelitian pada pasien yang diperkirakan lambungnya penuh, kejadian aspirasi akibat penggunaan LMA pada operasi emergensi atau elektif tercatat sangat rendah. Laporan tersebut termasuk pasien dengan obesitas, sering mengalami refluks gastroesofagus dan operasi sesar atau pengamanan jalan nafas saat melahirkan dan pasien yang datang ke emergensi.
            Selama resusitasi kardiopulmonal, insidensi regurgitasi gastroesofageal 4 kali lebih besar dengan bagvalve mask dibandingkan LMA.

Penggunaan LMA yang tidak biasa
Sejak pertama kali diperkenalkan, banyak data klinis menunjukkan LMA dapat digunakan secara aman di ruang operasi dalam situasi klinis yang bervariasi. Sejumlah situasi klinis yang biasanya ditangani dengan intubasi trakea dan ventilasi mekanik dilakukan menggunakan LMA. Tabel 23-4 menunjukkan angka situasi klinis tersebut, menjelaskan keuntungan dan peringatan penggunaan LMA serta menyediakan referensi yang memadai. Beberapa kasus akan didiskusikan selanjutnya.

LMA dan Ventilasi Tekanan Positif
Meskipun pada awalnya diperkenalkan bagi pasien dengan pernafasan spontan, LMA telah terbukti bermanfaat untuk kasus dengan ventilasi tekanan positif. Berlawanan dengan pendapat awal, ventilasi tekanan positif dapat digunakan dengan aman bersama LMA. Tidak ada perbedaan dalam pengembangan gaster dengan tekanan positif (<17 cm H2O) jika dibandingkan antara LMA dan ETT. Ketika menggunakan LMA, kita harus membatasi volume tidal sampai 8 ml.kg-1 dan tekanan jalan nafas sampai 20 cm H2O karena ini adalah tekanan penutup alat tersebut dalam keadaan normal. Operator juga harus mendengarkan di daerah tenggorokan untuk mendeteksi kebocoran, atau di perut untuk mendeteksi insuflasi gaster. LMA dapat digunakan dalam posisi supine, prone, lateral, oblik, Tredelenberg dan litotomi.

Durasi penggunaan LMA
Jangka waktu penggunaan LMA juga menjadi hal yang kontroversial. Meskipun pembuatnya menyarankan penggunaan maksimal 2-3 jam, laporan penggunaan lebih dari 24 jam dapat ditemukan.

Fleksibel LMA
Kehadiran fleksibel LMA telah meluaskan penggunaan LMA untuk berbagai kasus dimana jalan nafas harus berbagi dengan tim operasi (misalnya operasi THT). Fleksibel LMA berbeda dari pendahulunya dalam penampilan dinding yang tipis, diameter yang kecil, tabung yang berkawat, sehingga dapat diposisi diluar midline tanpa  berakibat pada posisi hipofaring sungkup. Alat ini didesain untuk digunakan pada sumbatan tonsilar saat dilakukan operasi mulut dan faring. Fleksibel LMA juga terbukti bermanfaat saat tutup yang tebal diletakkan di atas kepala dan jalan nafas, ketika ada gerakan posisi kepala selama operasi atau ketika tabung LMA tidak dapat diamankan dimidline. Pengunaan sungkup ini pada operasi di atas hipofaring terbukti  memiliki beberapa kelebihan dibanding intubasi trakea.
            Jika ditempatkan dengan benar, sungkup LMA menghalangi jalan nafas dari darah, sekresi dan debris diatasnya, jika dibandingkan dengan intubasi trakea yang tidak melindungi trakea dari cairan yang masuk ke dalam faring.

LMA dan Bronkospasme 
Sebagai jalan nafas supraglotik, LMA sangat cocok untuk pasien dengan riwayat asma. Menggunakan LMA, operator dapat mengontrol jalan nafas,  tanpa harus memasukkan benda asing ke dalam trakea.  Karena itu hal ini merupakan alat yang ideal bagi penderita asma yang tidak beresiko refluks maupun aspirasi. Karena anastesi inhalasi halogenasi merupakan bronkodilator yang potensial, maka saat dihentikan pasien yang mempunyai risiko mengalami bronkospasme biasanya menjadi wheezing. Pada pasien yang dipasang LMA, tidak ada benda asing dalam bronkus yang sensitif, dan pasien dapat sadar sepenuhnya saat pelepasan alat ini. Pada keadaan bronkospasme yang tidak terkontrol selama operasi intubasi dapat dilakukan melalui LMA atau setelah LMA dilepas.

Pelepasan LMA
Waktu untuk melepaskan LMA saat akhir operasi juga penting. LMA harus dilepas jika pasien teranastesi dalam atau setelah refleks protektive kembali dan pasien dapat membuka mulut dengan perintah. Pengangkatan selama tahap eksitasi dapat disertai dengan batuk dan atau laringospasme. Banyak klinisi mengangkat LMA dalam keadaan mengembang karena hal itu sekaligus berfungsi sebagai sendok untuk sekresi di atas sungkup, untuk dibawa keluar dari jalan nafas. Hal ini sangat bermanfaat pada operasi THT.

Kontraiindikasi Penggunaan LMA
Kontraindikasi primer penggunaan elektif LMA adalah resiko aspirasi isi lambung ( misalnya : perut penuh, hiatus hernia dengan refluks gastroesofagus yang signifikan, obesitas,obstruksi intestinal, pengosongan lambung tertunda, riwayat yang buruk). Kontraindikasi lain termasuk compliance paru yang buruk atau resistensi jalan nafas yang tinggi, obstruksi glottis atau supraglottis, dan terbatasnya pembukaan mulut (<1,5mm).

Komplikasi Penggunaan LMA
Selain refluks gastroesofageal refluks dan aspirasi, komplikasi yang dilaporkan ermasuk laringospasme, batuk, gagging, muntah, bronkospasme, dan kejadian lain yang karakteristik untuk manipulasi jalan nafas. Insidensi untuk nyeri tenggorokan sekitar 10%, dibandingkan intubasi trakea yang 30%, tetapi dilaporkan antara 0-70%. Juga dilaporkan adanya suara serak (4-47%) dan disfagia (4-24%). LMA dapat menyebabkan perubahan sementara fungsi pita suara. Hal ini kemungkinan berhubungan dengan overinflasi selama prosedur yang diperpanjang.
            Terdapat beberapa laporan cedera saraf berhubungan dengan penggunaan LMA. Pada April 1999, 11 kasus kelumpuhan saraf telah dilaporkan: N. Rekuren(7), hipoglosal (2) dan lingual (2). Seluruh kasus kecuali satu sembuh spontan. Pada semua kasus tersebut digunakan LMA ukuran 3 dan 4 dan NO adalah salah satu zat inhalasi (yang dapat meningkatkan tekanan cuff 9-38%). Tekanan cuff tidak dimonitor pada semua kasus. Diperkirakan bahwa kerusakan N. Lingualis terjadi ketika serabut saraf terperangkap diantara mandibula dan tabung LMA yang terletak lateral dari lidah. N. Hipoglosus berjalan rostral dan lateral dari dari os.hyoid, dan mungkin tertekan ke arah tulang. N. Rekuren kemungkinan tertekan antara cuff LMA dan kartilago krikoid atau tiroid. Tekanan cuff yang tidak termonitor akibat peningkatan tekanan oleh difusi N2O, anestesia ringan dengan konstriksi otot-otot faring, edema jaringan dan pembengkakan vena karena posisi kepala di bawah dan gel lubrikan yang  mengandung lidokain seringkali disalahkan untuk cedera saraf. Untuk mencegah cedera tersebut cuff LMA seharusnya dikembangkan tidak lebih  dari 60 cm H2O dan harus dimonitor jika N2O digunakan. Penggunaan LMA yang lebih besar dengan tekanan yang lebih kecil juga telah dianjurkan.
            Satu kematian dihubungkan dengan penggunaan LMA. Seorang wanita tua mengalami robek di esofagus setelah penggunaan LMA intubasi (LMA-Fastrach), maninggal 9 minggu kemudian karena shock sepsis setelah serangkaian komplikasi. Yang menarik, komplikasi sebenarnya adalah robekan kecil pada esofagus akibat intubasi esofagus yang kurang hati-hati.  Karena itu komplikasi ini lebih merupakan kesalahan pemasangan bukan karena sifat LMA-Fastrach sendiri. Tidak ada kematian lain akibat komplikasi pemasangan LMA dilaporkan dalam literatur. Diperkirakan, 600 kematian terjadi setiap tahun di negara berkembang karena komplikasi dari intubasi trakea yang sulit.



LMA-Proseal
Meskipun LMA original dan fleksibel LMA telah sukses digunakan untuk ventilasi tekanan positif, keduanya tidak sesuai untuk hal ini karena dua alasan : pertama, jika kedudukan tidak stabil di hipofaring, dapat terjadi inflasi gaster, kedua, tekanan penutup terbatas sekitar 20 cm H2O. Pada tahun 1994 sebuah prototipe LMA yang termasuk gastric drain didesain. Diyakini desain semacam ini akan menurunkan risiko pengembangan gaster dan risiko aspirasi isi refluks gaster. Selanjutnya diketahui bahwa desain tersebut yang juga terdiri dari cuff kedua, dapat menerima ventilasi tekanan positif  sampai 40 cm H2O. Prototipesungkup jenis ini, dinamakan LMA-Proseal telah digunakan pada pasien dan saat ini sedang menjalani penelitian multisenter (komunikasi personal dengan Archie Brain).
            Keuntungan lain dari desain ini adalah gastric drain dapat menjadi alat bantu  dalam menentukan posisi masker yang tepat, karena malposisi (misalnya nasofaring, intratrakeal) sering disertai dengan kebocoran udara dari lumen. Hal ini dapat terlihat dengan mengisi beberapa cm bagian proksimal lumen dengan lubrikan yang larut dalam air dan memeriksa adanya gelembung atau pergerakan meniskus.
            Desain LMA-Proseal juga mendayagunakan fleksibel LMA, membuatnya lebih aman dari displacement dengan pergerakan kepala. Kedua, gastric drain selalu terbuat dari silikon yang lembut, menempel di lateral tuba jalan nafas. Gastric tube yang kecil  dapat dimasukkan ke dalam lambung lewat lumen ini. Sebuah block bite silicon  berada diantara kedua tuba. Karena tambahan komponen setinggi level gigi geligi, maka LMA-Proseal kemungkinan akan lebih sulit dimasukkan ke dalam jalan nafas. Untuk alasan ini, disertakan alat insersi dari stainless steel. Setelah pemasangan, alat insersi dilepas. Diharapkan desain baru ini akan menambah kemampuan dan kenyamanan operator dalam menggunakan LMA dengan aman pada ventilasi tekanan positif untuk pasien berisiko aspirasi isi lambung.



LMA dan jalan nafas yang sulit
            Selain fungsinya sebagai alat anestesi jalan nafas yang rutin, LMA mempunyai sejarah sebagai tuba yang berjasa dalam perawatn pasien dengan jalan nafas yang sulit. Hal ini nanti akan dibahas lebih lanjut pada bab ini.

The Cuffed Oropharyngeal Airway
Alat jalan nafas supraglotis lain yang tersedia saat ini adalah  The Cuffed Oropharyngeal Airway  atau COPA (Mallinckrodt Medical, Athlone Irlandia). Alat ini (gambar 23-14) menyerupai Guedel dengan cuff yang dapat dikembangkan pada setengah bagian distalnya dan sebuah adapter sirkuit 15 mm pada ujung proksimal. Cuff yang dikembangkan akan mengisi faring dan menggerakkan epiglotis serta basis lidah ke arah anterior sehingga didapatkan jalan nafas tanpa halangan. Sisi pinggir dari adapter sirkuit mempunya dua ujung untuk dihubungkan dengan tali yang menstabilkan kepala. COPA didesain untuk maintenan jalan nafas selama anestesi dengan pernafasan spontan dan dalam banyak hal sebanding dengan LMA. Alat ini juga digunakan untuk pasien yang sulit diintubasi.

Intubasi Trakea
Laringoskopi rutin
Persiapan laringoskopi dan usaha terbaik
Meskipun laringoskopi dilakukan pada pasien sadar ataupun tidak, usaha yang berulang sering menyebabkan edema dan perdarahan struktur jalan nafas atas bagian anterior (lidah, valekula, epglotis, struktur laring), mempersulit visualisasi dan meningkatnya obstruksi jalan nafas. Karena itu penting untuk memastikan bahwa usaha pertama adalah usaha yang terbaik.
            Pertama, ketika kita menghadapi pasien kritis, orang yang melakukan larigoskopi haruslah yang paling ahli. Dalam kasus yang tidak gawat, peranan ini dapat dilakukan oleh yang seang berlatih. Kedua, keberadaan alat untuk melakukan laringoskopi dan intubasi harus dipastikan, begitu juga dengan alat yang dibutuhkan untuk menjaga kemungkinan kegagalan intubasi. Jika tersedia dalam berbagai ukuran, sediakan satu ukuran yang diperkirakan tepat, satu ukuran diatasnya dan satu  ukuran dibawahnya. (Tabel 23-6)
            Alat lain yang melengkapi daftar peralatan namun belum tentu tersedia disemua tempat termasuk monitoring end-tidal CO2 (contoh kapnografi atau kolorimetri), pulse oxymetri, LMA, kateter ventilasi jel transtrakeal, dan sumber oksigen tekanan tinggi.
            Ketinggian pasien haruslah setinggi kartilago xiphoideus operator, dengan tempat tidur yang dikunci sehingga tidak bergerak. Tidak ada yang menghalangi akses operator ke kepala pasien.
            Laringoskopi direk. Laringoskopi yang sukses termasuk distorsi anatomi  permukaan jalan nafas supralaringeal untuk menghasilkan visualisasi yang jelas antara mata operator dan laring; hal ini membutuhkan lurusnya aksis mulut, faring ddan laring. Sejumlah kriteria harus dipenuhi, antara lain:
  • Pembukaan mulut harus adekuat
  • Lidah harus kecil dan mudah dilipat
  • Mandibular space harus dapat menampung lidah saat dipindahkan oleh laringoskop
Dengan kepala berada diposisi netral  yaitu basis oksiput sejajar dengan vertebra thorakal bagian bawah, wajah akan menghadap ke atas, tidak ada overlaping dari ketiga axis sehingga visualisasi kurang baik. Untuk mengatasi hal ini, optimal “sniff” atau posisi Magill harus dilakukan. Posisi ini , leher sedikit fleksi terhadap thoraks (35%) dan kepala ekstensi terhadap leher pada sendi atlantooccipital, menghasilkan alignment terbaik dari mulut, faring dan laring. (gbr 23-15B). Posisi snif dapat disimulasikan dengan membayangkan posisi leher dan kepala pada pelari jarak jauh. Posisi seperti ini membuka jalan nafas secara maksimal, memindahkan epiglotis dari garis visual dan mengurangi resistensi jalan nafas secara maksimal.  Posisi Magill dapat dicapai dengan menempatkan bantal kecil (10 cm) di bawah kepala, sementara bahu tetap datar (gb 23-15B). Kegagalan mempertahankan posisi ini selama laringoskopi adalah penyebab tersering visualisasi yang buruk.
Bantal pada posisi snif yang nyaman untuk pasien sadar, tetapi mudah dibentuk kembali setelah induksi anestesi yang ideal untuk posisi sniff telah dikembangkan oleh Dr. Kaiduan Pi (gb. 23-16).
Overekstensi kepala pada leher dan/atau pergerakan mandibula ke anterior setelah masuknya muscle relaxan dapat menggerakan kartilago tiroid dan laring ke anterior sehingga menghalangi pandangan ke arah laring.
Pasien dengan obesitas mungkin membutuhkan pengaturan posisi lebih lanjut untuk menghindarkan massa di dada menghalangi laringoskop saat masuk ke dalam mulut. Hal ini bisa dilakukan dengan menempatkan bantal di bawah skapula, bahu dan tengkuk. Mengangkat leher dan kepala diatas thoraks, agar ada pengaruh gravitasi.
Jika pada saat laringoskopi tidak didapatkan pandangan yang baik, manuver BURP (backward-upward-rightward pressure) mungkin dapat memperbaikinya. Pada manuver ini, operator kedua mendorong laring ke belakang melawan vertebra servikal sesuperior mungkin sedikit ke kanan dengan bantuan tekanan dari luar melalui kartilago krikoid.  Manuver BURP telah terbukti dapat memperbaiki lapang pandang, mengurangi tingkat kesulitan intubasi pada 1993 pasien dari 4,8% menjadi 1,8%. Jika operator bertangan kidal dan menggunakan laringoskop untuk orang kidal, laring sebaiknya dipindahkan ke kiri. 
Jika alignment telah terpenuhi, mulut dibuka dengan satu atau dua teknik (gb 23-18). Yang pertama membuat hiperekstensi pada sendi atlantooccipital kepala dengan menggunakan tangan  yang dominan di bawah oksiput. Manuver ini akan membuka mulut dan dapat diperkuat dengan menekan dagu ke arah kaudal oleh jari kelingking tangan yang tidak dominan (gb 23-18a). Teknik kedua,lebih efektif tetapi membutuhkan kontak antara tangan dengan gigi penderita. Ibu jari menekan gigi molar dimandibula kearah kaudal sedangkan jari telunjuk menekan gigi molar pada maksila ke arah yang berlawanan. Tujuan utama kedua teknik diatas adalah untuk rotasi dan translasi sendi temporomandibular untuk mendapatkan gap antarincisivus yang paling jauh. Pasien, baik sadar atau tidak sekarang siap untuk laringoskopi.
Penggunaan blade laringoskop. Penggunaan blade laringoskop yang tepat sangat vital pada teknik penatalaksanaan jalan nafas. Ada dua jenis blade yang sering dipakai dan masing-masing memiliki teknik tersendiri (gb 23-19). The curved (macintosh) blade digunakan untuk menarik epiglotis keluar garis penglihatan dengan menegangkan ligamen glossoepiglotik, dan straight blade (Miller) menekan epiglotis ke basis lidah. Kedua blade mempunyai bagian disisi kiri yang berguna untuk menyapu lidah ke bagian kiri mulut. 
Pada umumnya pada bagian sisi tersebut juga terdapat sumber cahaya. Ukuran blade haruslah cukup panjang untuk mencapai tujuannya. Karena itu,ukuran blade harus dipilih secara tepat dan kalau perlu ditukar jika gagal. Blade Macintosh, lebih baik digunakan jika hanya ada sedikit ruang untuk melewatkan ETT, sedangkan blade Miller lebih baik digunakan pada pasien yang mempunyai mandibular space, gigi taring dan epiglotis yang besar.
Dengan tangan kiri memegang laringoskop, blade dimasukkan kebagian kanan mulut dengan hati-hati agar bibir tidak terjepit. Dengan menggunakan bagian sisinya bibir dipinggirkan ke arah kiri. Ketika mencpai basis lidah, lengan dan bahu mengangkat ke arah anterior dan kaudal.
Penting untuk diingat, operator harus berusaha untuk menghindair memutar pergelangan tangan dan handel laringoskop kearah kepala, membawa blade berlawanan arah gigi taring atas.
Pada anak-anak, karena ukuran oksiput yang relatif lebih besar maka elevasi kepala seperti yang dilakukan pada orang dewasa tidak dibutuhkan. Pada kondisi tertentu justru kitaperlu menaikkan dada.  Leher yang relaif pendek membuat tanda posisi anterior laring. Seringkali untuk dapat melihat inlet laring dibutuhkan tekanan posterior krikoid. Straight blade lebih membantu untuk memindahkan epiglotis yang kaku, berbentuk omega dan tinggi letaknya. Karena kartilago krikoid merupakan daerah paling sempit sampai usia 6-8 tahun, operator harus sensitif terhadap tahanan dan selanjutnya ETT yang telah mudah melewati pita suara. Hiperekstensi pada sendi atlantoocccipital dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas karena elastisitas relatif trakea. Pada anak-anak terdapat risiko yang lebih tinggi saat intubasi atau ekstubasi endotrakea dangan pergerakan kepala karena ukuran trakea yang pendek.
Dengan laringoskopi, lapang pandang laring dapat komplit, parsial atau tidak terlihat sama sekali. Sistem penilaian lapang pandang laring yang telah diterima secara umum dikembangkan oleh Cormack dan Lehane, yang menjelaskan 4 tingkatan lapang pandang laring. Tingkat I termasuk visualisasi seluruh permukaan glotis. Tingkat II visualisasi bagian posterior glotis. Tingkat III visualisasi ujung epiglotis. Tingkat IV hanya memperlihatkan soft palatum. (Gb. 23-22) Sistem ini telah terbukti berguna tidak hanya sebagai alat untuk mencatat lapang pandang laring pada seorang pasien, tetapi juga sebagai perediksi jalan nafas preoperatif.
Setelah laring dapat terlihat, trakeal tube dimasukkan dengan tangan kanan, hati-hati agar tidak merusak lapang pandang terhadap pita suara. Trakeal tube harus dimasukkan minimal 2 cm di bawah pita suara agar terletak di mid trakea. Ini kira-kira ukuran 21-23 cm pada skala. Pilihan ukuran tracheal tube untuk dewasa apat digeneralisir, untuk wanita ukuran 7-8 cm id

Tabel 23-3 Ukuran LMA dan volume pengembangan
Ukuran LMA
Berat pasien
Pengembangan Ukuran
(%)
Volume Pengembangan Maksimum (ml)
Tes Volume Pengembangan (ml)
1
Neonatus/bayi sd 5 kg
-
4
6
1,5
5-10 kg
21
7
10
2
10-20 kg
21
10
15
2,5
20-30 kg
18
14
21
3
>30 kg
15.7
20
30
4
Dewasa kecil
14.4
30
45
5
Dewasa normal
13.8
40
60
6
Dewasa besar
8.1





Tabel 23-4 Penggunaan LMA yang tidak biasa
Situasi klinik
keuntungan
Pencegahan
Sitasi
Telinga dan hidung
Saturasi O2
Perlindungan jalan nafas
Pergerakan kepala
Pengeluaran/ aspirasi darah/pus

A1-A9


Gigi
Seperti di atas
Menurunkan disritmia
Mengurangi perdarahan
Mengurangi epistaksis
Peningkatan kewaspadaan saat ekstraksi
A10-A18
Laring
Biopsi pita suara

A19
Mulut, mandibula, lidah
Kasus penyelamatan setelah kegagalan facemask atau laringoskopi

A20-A30
Adenotonsilektomi
Mengurangi kotoran trakea
Penyembuhan lebih baik
Berkurangnya stridor postoperatif dan laringospasm
Berkurangnya bronkospasm
Sebaiknya menggunakan fleksibel LMA
Mungkin sulit untuk memasukkan LMA
A21, A31-A44
Bedah laser

Sungkup dapat robek
A45-A55
Pembedahan besar leher dan kepala
Telah digunakan untuk jalan nafas yang sulit
Laringospasme mungkin muncul
LMA mungkin berpindah tempat
Masker berlubang
A56-A58
Endarterektomy karotis
Mengurangi stimulasi kardiovaskular
Smooth Emergence
Distorsi anatomi pembedahan
A43, A59
Trakeostomi
Jalan nafas sulit
Perhatikan prosedur perkutaneus (LMA telah digunakan sebagai masker trakeostomi)

A60-A65
Operasi mikrolaring
Glotis tidak tersumbat

A66-A68
Operasi trakea/karina
Glotis tidak tersumbat
Laser aman digunakan di bawah LMA

A47, A69-A73
Tiroid/paratiroid
Observasi dinamik selama stimulasi saraf
Laringospasm
LMA mungkin berpindah tempat
Jika melemahkan kartilago, tidak ada suport trakea
A56, A69-A79
Operasi mata
Memperbaiki tekanan intraokuler
Bebas bahaya batuk
(LMA telah digunakan sebagai irigator mata)
Valsava dapat terjadi
A44, A69,
A80-A104
Laparoskopi ginekologis

Kemungkinan peningkatan regurgitasi dalam posisi tredelenberg
A105-A113
Bronkoskopi
Akses yang mudah ke glotis
Oksigenasi/ventilasi kontinyu
Lapang pandang glotis/ trakea bag. Atas
Ruang yang luas untuk ekstraksi benda asing

A114-A140
Endoskopi


A141
Neurosurgery
Smooth emergence
Smooth “wake up” test

A142-A146
Resusitasi kardiopulmonal
Sebagai jalan nafas pertama
Penyebaran obat

A147-A148
Operasi perut bawah

Harus dipastikan edalaman anestesti yang adekuat
A149-A151
Operasi perut atas

Secara umum merupakan kontraindikasi, meskipun telah digunakan secara aman
A149, A152-A154
Operasi Kardiothorak
Mengurangi respon kardiovaskular
Dianggap tidak berguna karena tekanan tinggi jalan nafas sering dibutuhkan
A155-A157

Tabel 23-5 Keuntungan LMA pada operasi supraglotis
Meningkatkan perlindungan jalan nafas dari darah dan debris
Mengurangi respon kardiovaskuler
Mengurangi batuk
Mengurangi laringospasme setelah pengangkatan alat
Meningkatkan saturasi setelah pengangkatan alat
Kemampuan untuk mengalirkan oksigen sampai refleks jalan nafas kembali

Tabel 23-6 Perlengkapan untuk Laringoskopi
Oxygen source dan self inflating ventilation bag (e.g ambu bag)
Face mask+
Oropharyngeal and nasopharyngeal airways+
Tracheal tubes+
Tracheal tue stylet
Syringe for tracheal tube cuff inflation
Suction apparatus
Laryngoscope handle (2), tested for working order andbattery freshness
Laryngoscope blades: Common blades include the curved (Macintosh) and straight (Miller)+
Pillow, towel, blanket, or foam for head positioning
Stethoscope
+Presumed size as well as one larger and one smaller should be immediately available.

Tabel 23.12. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan tindakan anestesi regional  (Regional Anesthesia/RA) pada pasien dengan masalah jalan nafas

Dipertimbangkan dilakukan RA
Tidak dipertimbangkan dilakukan RA
Pembedahan superfisial
Diperlukan sedasi minimal
Anestesi dengan infiltrasi lokal
Akses ke jalan nafas baik
Pembedahan dapat dihentikan setiap saat
Pembedahan melibatkan rongga tubuh
Diperlukan sedasi yang signifikan
Diperlukan anestesi lokal neuroaxial yang luas, atau risiko injeksi intravaskular
/absorpsi besar

Awake airway management (Manajemen airway pada pasien yang sadar)

Awake airway management tetap merupakan ASA’s Difficult Airway Algorithm. Jika, setelah pemeriksaan airway dan mendapatkan riwayat anestesi atau keadaan emergensi lain, kemampuan mengontrol ventilasi dan oksigenasi, serta tanpa resiko aspirasi isi lambung diragukan, maka diindikasikan awake manajemen. Manajemen airway tidak sinonim dengan intubasi : mask anestesi, LMA, COPA, tracheal esophageal Combitube, dan peralatan lain merupakan alternatif selain intubasi, tergantung pada situasi klinis. Awake intubation memberikan banyak keuntungan pada keadaan teranestesi, termasuk pemeliharaan ventilasi spontan dalam keadaan dimana airway tidak dapat diamankan dengan baik, peningkatan ukuran dan patensi dari faring, letak basis lidah yang terlalu ke depan, laring lebih ke posterior, dan patensi dari retropharyngeal space.132,133 Efek sedatif dan anestesi umum pada patensi airway bisa merupakan sekunder dari efek langsung motoneuron dan pada reticular activating system. Pasien dengan sleep apnea dapat lebih mudah mengalami obstruksi dengan sedasi minimal. Awake state memberikan pemeliharaan terhadap tonus spingter esofagus atas dan bawah, yang akan mengurangi risiko refluks. Pada saat terjadi refluks, pasien dapat menutup glotis dan atau mengeluarkan bahan aspirasi dengan batuk sebgai hasil bahwa refleks ini tidak tertekan oleh anestesi lokal.135 Terakhir, pasien dengan risiko terjadi sekuele defisit neurologis (pasien dengan patologi vertebra servikan yang tidak stabil) bisa menjalani monitoring sensori-motor setelah intubasi trakeal. Dalam situasi emergensi, harus hati-hati(stimulkasi kardiovaskuler pada pasien dengan iskemia kardiak atau risiko iskhemia, bronkhospasme, peningkatan yekanan intraokuler, openingkatan tekan intrakranial)136 tetapi tidak ada kontraindikasi absolut pada awake intubation. Kontraindikasi pada awake intubation elektif termasuk pasien menolak atau tidak kooperatif (naak-anak, retardasi mental berat, demensia, intoksikasi) atau alergi pada anestesi lokal.
            Jika klinisi telah memutuskan untuk melakukan tindakan awake airway management, pasien harus disiapkan secara fisik dan psikologis. Hampir semua pasien dewasa akan menerima penjelasan tentang perlunya pemeriksaan airway dalam keadaan sadar dan akan lebih kooperatif setelah mereka menyadari akan pentingnya dan rasionalitas untuk setioap tindakan yang tidak nyaman itu. Prosedur secara keseluruhan tidak perlu dijelaskan dalam sekali waktu. Klinisi dapat menjelaskan bahwa pasien akan diamati jalan nafasnya dalam rangka untuk merencanakan tindakan. Dfalam hal ini dapat termasuk tindakan endoskopi. Setelah airway disiapkan dan diamati, pasien akan menyadari bahwa mereka harus mengalami ketidaknyamanan lebih lanjut selama intubasi, yang dapat didiskusikan lebih lanjut.
            Premedikasi dapat digunakan untuk mengurangi kecemasan. Jika sedatif digunakan, klinisi harus berpikir bahwa obstruksi atau apneu pada pasien dengan airway bermasalah dapat mematikan dan pasien dengan sedasi tidak mampu untuk menjaga airway-nya dari regurgitasi isi lambung, atau bersikap kooperatif selama tindakan. Dosis kecil benzodiazepin (diazepam, midazolam, lorazepam) umum digunakan untuk mengurangi kecemasan tanpa depresi pernafasan yang signifikan. Obat-obatan ini dapat digunakan secara oral atau intravena dan dapat direverse dengan antagonisnya (flumazenil). Opioid receptor antagonist (fentanil, remifentanil, alfentanil) juga dapat digunakan dengan dosis rendah, dosis titrasi untuk efek sedasi dan antitusifnya, walaupun perlu hati-hati dalam penggunaannya. Antagonis spesifik (nalokson) harus siap tersedia. Ketamin dan droperidol juga telah populer digunakan oleh para klinisi.
            Pemberian antisialagogues penting untuk keberhasilan awake intubation. Seperti yang akan didiskusikan di bawah ini, pembersihan sekret airway penting untuk penggunaan instrumen visual indirek (fiberoptic bronchoscope, rigid fiberoptic laryngoscope) karena sedikit saja cairan akan menghalangi lensa objektifnya. Biasanya digunakan atropin (0,5-1 mg im atau iv) dan glikopirolat (0,2-0,4 mg im atau iv) memiliki efek signifikan : dengan mengurangi produksi saliva, meningkatkan efektivitas anestesi lokal yang digunakan dengan cara menghilangkan barier kontak dengan mukosa dan mengurangi dilusi obat anestesinya. Vasokonstriksi nasal diperlukan jika dilakukan instrumentasi melalui nasal. Jika pasien memiliki risikao untuk terjadi regurgitasi dan aspirasi, maka diperlukan tindakan profilaksis. Sering kali, penting juga untuk memberikan tambahan oksigen pada pasien melalui nasal kanul (yang dapat ditempatkan pada nasal atau mulut).
            Anestesi lokal adalah landasan untuk teknik awake airway control. Airway, mulai dari basis lidah sampai bronkus memiliki jaringan yang sensitif. Anestesi lokal dan anestesi blok telah dikembangkan untuk menumpulkan refleks protektif jalan nafas dan juga untuk menghasilkan analgesia. Seperti yang telah diketahui oleh para ahli anestesi, anestesi lokal adalah efektif, namun juga berbahaya.  Para klinisi harus mengerti tentang mekanisme kerja, metabolisme, toksisitas, dan dosis kumulatif yang aman dari obat yang dipilih. Karena obat yang digunakan akan banyak diaplikasikan dalam tracheal-bronchial tree dan  akan masuk ke alveoli, maka akan terjadi absorpsi ke dalam intravaskuler yang cepat.
            Walaupun tersedia banyak obat anestesi lokal, namun akan dibahas yang paling sering digunakan.
            Di antara ahli otalaringologi, kokain terkenal sebagai agen topikal. Tidak hanya efektivitasnya yang tinggi sebagai anestesi lokal, tetapi selain sebagai anestesi lokal, kokain juga adalah vasokonstriktor yang poten. Biasanya tersedia dalam larutan 4 %. Dosis total yang diaplikasikan pada mukosa tidak boleh lebih dari 200 mg pada dewasa. Kokain tidak boleh digunakan pada pasien yang hipersensitif terhadap kokain, hipertensi, penyakit jantung iskemik, pre-eklamsi, atau yang menggunakan monoamin oksidase inhibitor.137 Karena kokain dimetabolisme oleh pseudokolinesterase, maka dikontraindikasikan untuk pasien yang menderita defisiensi enzim ini.
            Lidokain, anestesi lokal golongan amida, terdeia dalam banyak sediaan dan dosis (Tabel 23-13). Pada pemberian topikal, memiliki puncak onset dalam 15 menit. Kadar toksis dalam plasma bukan tidak mungkin terjadi, namun tidak umum terjadi pada pemberian untuk airway management.

Tabel 23.13. Bentuk sedian lidokain

Sedian
Dosis
Injeksi/larutan topikal
Larutan lengket
Salep
Aerosol
1 %, 2 %, 4 %
1 %, 2 %
1 %, 5 %
10 %

            Tetrakain adalah anestesi lokal golongan amida dengan lama kerja yang lebih panjang daripada kokain dan lidokain. Tersedia dalam bentuk larutan 0,5 %, 1% dan 2 %.
Diabsorpsi cepat dari saluran nafas dan pencernaan dan toksisitas setelah pemberian secara nebulisasi pernah dilaporkan dengan dosis serendah 40 mg, walaupun dosis aman pada dewasa adalah 100 mg.
            Benzokain terkenal di antara beberapa klinisi karena onsetnya yang sangat cepat (< 1 menit) dan durasinya yang singkat (~ 10 menit).  Tersedia dalam bentuk larutan 10 %, 15 % dan 20 %. Pernah dikombinasikan dengan tetrakain (Hurricaineâ, Beutlich Pharmaceuticals) untuk memperpanjang masa kerja. Pemberian 0,5detik aerosol Hurircaine mengantarkan 30 mg benzocain, dosis toksisnya 100 mg. Sedian lain yang umum adalah spray Cetacaine, merupakan kombinasi antara benzocaine dan Tetracaine, butylaminobenzoate, benzalkonium klorida, dan cetyyldimethylethyl ammonium bromide. Benzocaine mungkin menghasilkan methemoglobinemia , yang bisa diatasi dengan pemberian methylene blue.
            Ada tiga area anatomis dimana klinisi memberikan anestesi lokal : kavum nasi/nasofaring, faring/basis lidah, dan laring/trakea. Kavum nasi dipersarafi oleh nervus palatina mayor dan minor (inervasi dari konkha dan septum nasi) dan nervus ethmoidalis anterir (inervasi nares dan sepertiga anterior septum nasi). Kedua nervus palatina keluar dari ganglion sphenopalatina, berada di posterior dari konkha media.  Dua teknik untuk blok saraf telah dijelaskan. Ganglion dapat dicapai melalui nasal appproach noninvasive : dengan aplikator dari kapas (cotto-tipped applicator) yang telah direndam pada obat anestesi lokal, aplikasikan sepanjang batas atas dari konkha media sampai dinding nasofaring posterior. Dibiarkan selama 5-10 menit. Pada oral approach, jarum dimasukkan melalui foramen palatina mayor,  yang dapat dipalpasi di sebelah posterior bagian lateral palatum durum, 1 cm medial dari gigi molar satu dan dua rahang atas. Larutan anetesi (1-2%) dinjeksikan dengan jarum spinal dengan arah superior/posteror dengan kedalaman 2-3 cm. Hati-hati jangan sampai masuk ke dlam arteri sphenopalatina. Nervus ethmoidalis anterior dapat diblok dengan cara aplikasi cotton-tipped yang direndam dalam anestesi lokal sepanjang permukaan dorsal dari hidung sampai tercapai bagian anterior lempeng kribriformis. Aplikator didiamkan di tempatnya selama 5-10 menit.
            Orofaring dipersarafi oleh cabang nervus vagus, fasialis dan glossafaringeal. Nervus glossofaringeal (GPN) berjalan ke anterior sepanjang permukaan lateral faring, tiga cabangnya memberikan persarafan sensoris untuk 1/3 posterior lidah, valekula, permukaan posterior epiglotis (cabang lingual), dinding faring (cabang faring), dan tonsil (cabang tonsil). Banyak variasi teknik yang dapat digunakan untuk menganestesi bagian dari airway ini. Teknik yang paling sederhana menggunakan anestesi lokal larutan aerosol atau “swish and swallow” volunter. Sepanjang klinisi merencanakan untuk menganestesi struktur yang sesuai, telah memberikan cukup waktu untuk bekerja, dan tetap pemberian kontinyu sampai dosis total dari anestesi lokal diperlukan, sebagian besar pasien akan teranestesi secara adekuat dengan cara ini.
            Beberapa pasien mungkin memerlukan blok GPN, khususnya ketika teknik topikal tidak adekuat untuk menekan refleks muntah. Cabang dari saraf ini sebagian besar mudah untuk dicapai ketika menyilang lipatan palatoglosus. Lipatan ini terlihat sebagai tepian jaringan lunak dari aspek posterior  palatum ke basis lidah, bilateral (Gambar 23-27).
           
                                                            Gambar 23-27

Gambar 23-27. Arkus palatoglosus (panah) adalah lipatan jaringan lunak yang merupakan kelanjutan dari tepi posterior dari palatum molle ke basis lidah.. Kapas (swab) yang telah direndam dalam anestesi lokal ditempatkan dalam parit sepanjang basis lidah dan dibiarkan selama 5-10 menit.

Teknik noninvasif menggunakan aplikator cotton-tipped yang telah direndam dalam larutan anestesi diposisikan pada bagian paling bawah dari lipatan, dibiarkan selama 5-10 menit. Ketika teknik noninvasif kurang adekuat, anestesi lokal dapat diinjeksikan. Berdiri di sisi kontralateral dari sisi yang akan diblok, operator menggeserkan lidah ke sisi yang berlawanan dan jarum spinal 25G diinsersikan ke dalam membran dekat dasar mulut. Dilakukan tes aspirasi dulu. Jika udara teraspirasi, jarum telah melewati membran. Jika darah teraspirasi, jarum diarahkan kembali lebih medial. Cabang lingual lebih terblok dengan cara ini, tetapi penjejakan retrograd dari ijeksi juga pernah dilakukan.135. Walaupun menyediakan blok yang terpercaya, teknik ini dilaporkan menimbulkan rasa nyeri dan mungkin menghasilkan hematom yang mengganggu.139 Approach posterior ke GPN pernah disebutkan dalam literatur otolaringologi (untuk tonsilektomi). Mungkin akan sulit untuk melihat tempat insersi dari jarum, yang terletak di belakang arkus palatofaringeal dimana nervus berada berdekatan dengan arteri karotis. Karena risiko masuk ke dalam arteri dan perdarahan, teknik ini tidak akan dibahas di sini; tetapi, pembaca disarankan membacanya di dalam referensi yang lebih sesuai.140
            Cabang interna dari nervus laringeal msuperior(SLN) yang merupakan cabang dari nervus vagus, memberikan persarafan sensoris dari basis lidah, epiglotis, lipatan ariepiglotika, dan aritenoid. Cabang yang berasal dari SLN, berada lateral dari kornu tulang hioid. Kemudian menembus membran tirohiod dan berjalan di bawah mukosa resesus piriformis. Bagian sisa dari SLN, cabang eksterna, memberikan inervasi motorik untuk otot krikotirid. Beberapa blok terhadap nervus ini telah diuraikan. Dalam banyak contoh, aplikasi anestesi topikal dalam rongga mulut akan menyediakan analgesia yang adekuat. Blok eksternal dilakukan pada pasien dalam posisi terlentang dengan kepala ekstensi dan klinisi berdiri ipsilateral dengan nervus yang akan diblok. Di bawah sudut mandibula, klinisi mengidentifikasi kornu superior dari tulang hioid (gambar 23-28). Menggunakan satu tangan, kornu ditekan secara langsung ke arah medial,  memindahkan kornu hioid ipsilateral menjauhi klinisi. Kehati-hatian diperlukan untuk menentukan lokasi arteri karotis dan kemudian menggesernya jika diperlukan. Jarum diinsersikan  secara langsung di atas kornu hioid, dan kemudian menggerakkan kartilago ke arah anterior-kaudal sampai jarum dapat melewati ligamen sedalam 1-2 cm (gambar 23-29A). Sebelum menginjeksikan anestesi lokal, dilakukan tes aspirasi untuk memastikan sudah masuk ke dalam faring atau struktur vaskuler. Anestesi lokal dengan epinefrin (1,5-2 ml) diinjeksikan ke dalam ruangan antara membran tirohioid dan mukosa faring. SLN juga dapat diblok dengan cara teknik blok noninvasive. Pasien diminta untuk membuka mulut lebar, dan dan lidah dipegang menggunakan spatula lidah atau kawat. Forsep sudut kanan (Forsep Jackson-Krause) dengan kapas yang telah direndam dalam obat anestesi lokal ditempatkan di lateral lidah dan ke dalam sinus piriformis bilateral. Dibiarkan selama 5 menit.
                                                Gambar 23-28

Gambar 23-28. Ketika akan dilakukan blok SLN, kornu superior hioid kontralateral ditekan untuk membantu mengidentifikasi anatomisnya. Jarum diinsersikan  setinggi membran tirohioid sediki di bawah kornu kartilago tiroid mayor.
            Persarafan sensoris dari pita suara dan trakea berasal dari nervus laringeus rekuren. Penyuntikan anestesi lokal transtrakeal mudah untuk dilakukan untuk menghasilkan analgesia yang adekuat dan tekniknya dibicarakan secara detil di bawah ini (Lihat intubasi retrograd) (gambar 23-29B). Disuntikan 4 ml Lidokain 2% atau 4%.
            Teknik yang efektif dan noninvasif untuk analgesia topikal dengan menggunakan bronkhoskopi fiberoptik. Kerugian teknik ini, cairan yang berada di dalam saluran ini akan mengkaburkan lensa. Hal ini dapat diatasi dengan menggunakan kateter epidural, diinsersikan melalui saluran, seperti diuraikan oleh Ovassapian.141 Bukan hanya mencegah pengkaburan pandangan, tetapi juga memungkinkan tujuan tempat spesifik dari gelombang anestesi.
           

Kesulitan Klinis Dalam Skenario Airway

Pendekatan klinisi terhadap pasien dengan airway yang bermasalah memiliki teknik dan instrumen yang mahaluas untuk dapat digunakan untuk mengamankan dan menjaga oksigenasi dan ventilasi. Meskipun ini dapat membingungkan, pengarang textbook tidak bisa mendikte pendekatan spesifik di setiap situasi;142 terlebih lagi, presentasi dari pasien yang bervariasi membuat rekomendasi spesifik sulit untuk dilakukan. Maka dalam rangka mendiskusikan manajemen, bagian berikut menampilkan  beberapa singkatan skenario klinis dan pendekatan pengarang sendiri. Alternatif utama dari teknik manajemen airway,  akan didiskusikan. Semua kasus klinis yang didiskusikan di bawah ini telah dilakukan oleh pengarang dan beberapa kolega. Teknik lain yang mungkin diterapkan  didalam setiap situasi juga akan didiskusikan, bersama dengan pohon keputusan pengarang sendirimemperhatikan aplikasinya sendiri. Dalam kasus-kasus ini, seperti dalam praktik sesungguhnya, teknik pertama yang digunakan bisa jadi bukan yang tyerbaik. Prinsip fleksibilitas (dan ketajaman mata diperlukan untuk mengubah arah dalam waktu yang cepat) akan ditekankan secara berulang.

Kasus 1 : Flexible Fiberoptic-Aided Intubation
Seorang laki-laki berusia 50 tahun,dengan herniasi diskus vertebralis servikal simtomatis,akan dilakukan reseksi diskus dan fiksasi. Terdapat riwayat penggunaan tembakau, konsumsi alkohol, dan refluks gastro-esofageal. Dalam persiapan preoperatif diberikan 0,4 mg glikopirolat. Limabelas menit kemudian, ketika keadaan pasien dengan sekresi yang minimal, anestesia topikal diberikan pada airway. Pasien menerima 4mg midazolam intravena. Intubasi airway oraldilakukan tanpa menghilangkan refleks muntah dan flexible fiberoptic bronchoscope diguanakn juga pada airway. Visualisasi ligamentum vokalis, dan lidokain 4 % sebanyak 4 ml disuntikan melalui fiberscope working chanel. Ujung distal fiberscope dimasukkan ke dlam laring, dan 7,0-id tuba endotrakheal, yang telah ke dalam badan insersi fiberscope, dimasukkan ke dalm trakhea. Fiberscope dipindahkan sementara struktur karina, trakhea dan terakhir tuba trakheal diamati. Sirkuit anestesi dilekatkan ke tuba trakheal dan pengeluaran karbondioksida tetap diamati oleh Kapnografi. Dilakukan pemeriksaan status neurologis motorik dan sensoris singkat oleh ahli bedahnya dan dilakukan induksi anestesi umum.

Penggunaan bronkhoskopi fiberoptik dalam manajemen airway.
Bronkhoskopi fiberoptik (Fiberoptic bronchoscope/FOB) adalah instrumen yang terdapat dimana-mana dalam bidang anestesi, terdapat pada 99% anggota ASA aktif yang disurvey.142 Teknik fiberoptic-aided intubation pertama kali dilakukan dengan menggunkan choledochoscope pada pasien dengan still’s disease.143 Pada akhir 1980, penggunaan FOB fleksibel memberikan kemajuan dalam manajemen pasien dengan kesulitan jalan nafas.144 Sekarang telah diterima secara umum untuk keadaan klinis yang bervariasi, FOB merupakan alat yang penting bagi ahli anestesi yang harus mengelola pasien sadar ataupun tidak, yang sulit untuk diintubasi. 145 FOB telah terbukti sebagai alat yang paling bermanfaat dalam setiap keadaan.
            Tidak ada indikasi yang paling benar/tetap untuk teknik FOB-aided intubation, seperti yang ada pada laringoskopi direk (misal pada rangkaian induksi cepat pasien dengan lambung penuh). Akan tetapi, banyak situasi klinis dimana FOB sebagai bantuan tidak langsung dalam mengamankan jalan nafas, terutama jika klinisi telah melakukan usaha terbaik dengan kemampuannya menggunakan intubasi yang rutin.141 Termasuk didalamnya adalah untuk mengantisipasi intubasi yang sulit yang didapat dari riwayat atau pemeriksaan fisik, intubasi yang sulit yang tidak diantisipasi (dimana teknik yang lain gagal), obstruksi airway atas dan bawah, penyakit vertebra servikal yang stabil/tidak, efek massa pada saluran nafas atas atau bawah, risiko pada gigi atau kerusakan dan awake intubation.141 Tidak seperti perlatan yang lainnya yang digunakan untuk mengintubasi trakea, FOB juga dapat memberikan visualisasi struktur di bawah pita suara. Sebagai contoh, dapat mengidentifikasi penempatan dari tracheal tube atau membantu penempatan Double lumen tracheal tube. Mungkin juga membantu diagnosis dalam trakhea atau bronkhus, atau dalam toilet pulmonal (gambar 25-30).

                                                            Gambar 25-30.

Gambar 25-30. FOB mungkin akan berguna untuk diagnosis dan terapi struktur di bawah pita suara termasuk segmen brokhus dan tolit (lihat gambar 23-3). (A)Web laringeal. (B) tumor bronkhus.       
            Kontraindikasi FOB-aided intubation adalah relatif, dan berhubungan dengan keterbatasan alat (Tabel 23-14).

 Tabel 23-14. Kontraindikasi FOB
Hipoksia
Sekresi jalan nafas yang banyak yang tidak dapat diatasi dengan suction atau antisialagogues
Perdarahan dari saluran nafas atas atau bawah yang tidapat diatasi dengan suction
Alergi terhadap anestesi lokal
Tidak kooperatif

             Karena elemen optiknya kecil (lensa objektifnya berdiameter 2 mm atau kurang), sekret jalan nafas sedikit saja , darah atau debris juga dapat mengkaburkan pandangan. Maka perlu untu dibersihkan terlebih dahulu dengan pemberian antisialagogues im/iv (misal glycopyrrolate 0,2-0,4 mg, atropin ,5-1 mg) akan berefek mengeringkan dalam waktu 15 menit, tetapi hati-hati pada pasien yang intoleran terhadap peningkatan denyut jantung. Vasokonstriksi mukosa hidung diperlukan untuk mengurangi perdarahan jika melalui hidung dengan menggunakan oxymetazoline, phenylephrine, atau kokain topikal. Jika awake intubation direncanakan dengan menggunakan FOB, agar berhasi maka pasien harus dapat kooperatif, tidak ada sekret, dengan sedikit pergerakan dari kepala, leher, lidah dan laring. Akhirnya,  karena FOB-aided intubation dari trakhea memerlukan banyak waktu, terutama bagi klinisi yang belum cakap dengan peralatannya, maka kontraindikasi penggunaannya untuk pasien hipoksia atau impindeng hipoksia dan perlu dipertimbangkan untuk digunakan metode lain yang lebih cepat (LMA atau pembedahan airway).
            Elemen bronkhoskopi fiberoptik.  FOB adalah alat yang rapuh, dengan bagian optik dan nonoptik. Elemen penting mengandung anyaman serat kaca. Setiap serat berdiameter 8-12 mm, dan dilapisi oleh lapisan kaca sekunder. Cladding berguna untuk menjaga bayangan disetiap serat sebagai cahaya yang direleksikan dengan rate 10000 kali per meter ketika bergerak dari lensa objektif ke lensa okuler pada pegangan operator.
            Persiapan  bronkhoskopi fiberoptik.. Ketika mendekati FOB-aided intubation, harus dipastikan bahwa peralatan bekerja dengan baik. Satu urutan ispeksi dilakukan seperti pada tabel 23-15.
            Penggunaan bronkhoskopi fiberoptik. FOB dipegang dengan tangan non dominan, ibu jari pada tuas pengontrol. Lengan yang dominan berfungsi untuk menahan dan memegang insertion cord. Banyak operator menukar posisi tangan tadi, tetapi ibu jari dari tangan nondominan harus mahir untuk mengontrol gerakan kasar dari level kontrolnya. Semua ahli endoskopi berpengalaman mengetahui bahwa kontrol yang halus dibutuhkan untuk memegang badan dari endoskopi.
            Insertion shaft dilicinkan dengan  pelicin larut air, dan dimasukkan melalui lumen ETT. ETT yang sesuai harus dipilih, tetapi semakin besar  rasio antara diameter interna ETT dan diameter eksterna insertion shaft, maka semakin besar resiko tertahan di dalam saluran nafas seperti yang pernah terjadi pada 20-30 %  tindakan (Gambar 23-32).141 Kejadiantersebut terjadi apabila ada klep antara dua alat ini karena perbedaan ukuran. Mungkin juga melibatkan epiglotis, kartilago kornikulata/aritenoid, plika ariepiglotika, atau pita suara.147 Metode lain telah diuraikan untuk mengtasi kejadian tersebut, termasuk penggunaan ETT yang kecil, rotasi dari dataran ETT 90 derajat searah jarum jam dan atau berlawanan arah jarum jam, penggunaan soft-tipped ETT, meminta pasien bernafas dalam selama memasukan ETT, dan doble setup ETT, yang menggunakan ETT kecil (5.0 id) didalam ETT yang adekuat secara klinis (misal 7.5 id) untuk mengatasi klep akibat perbedaan ukuran.
            Klinisi memilih rute intubasi, baik oral atau nasal, terganrung dari kebutuhan klinisi, kebutuhan dokter bedah, pengalaman operator, dan teknik intubasi lain yang tersedia jika FOB-aided intubation gagal. Faaktor terakhir ini penting karena jika usaha intubasi nasal gagal. Mungkin akan ada perdarahan yang signifikan yang mengaburkan visualisasi teknik indirek lain. Rute nasal dipertimbangkan lebih mudah oleh beberapa klinisi. Perbedaan antara rute nasal dan oral akan didiskusikan dalam tabel 23-16.
            Variasi intubating oral airways (IOA) secara komersial tersedia. Fungsi utamanya adalah untuk jalur visual yang jelas dari mulut ke faring, membuat broinkhoskop tetap di tengah, mencegah pasien menggigit, dan menyediakan airway yang bebas untuk ventilasi spontan atau dengan mask. Karakteristik umumdari semua IOA adalah saluran sepanjang jalan nafas harus cukup untuk membiarkan pasase dari ETT. Ovassapian airway (Gambar 23-33) menyediakan dua set semisrkuler, incomplete flexible flanges yang menstabilakn ETT ( sampai 9.0 id) di garis tengah tapi  memungkinkanpemindahannya dari jalan nafas setelah intubasiselesai sehingga IOA bisa dipindahkan dari mulut. Permukaan lidah yang datar dari jalan nafas memberikan stabilitas lateral dan rotasi yang baik.Patil-Syracuse endoscopic airway dan Luomanen aral airway (gambar 23-33) menyediakan dua set semisirkuler juga didesain untuk FOB-aided intubation. Masing-masing memiliki lekukan sentral, terbuka di lidah (Patil syracuse) atau palatal (Luomanen), yang memudahkan pemindahan ETT. Permukaan lingual yang datar memberikan stabilitas yang baik. Meskipun model IOA ini menyediakan akses ke faring, lebih besar dibandingkan dengan jalan nafas yang lain dan sering tidak nyaman bagi pasien. Williams airway (Gambar 23-33) dan Berman airway untuk intubasi oral buta. Sering sulit untu memanipulasi ujung dari fiberscope ketika di dalam pentempitan jalan nafas ini. Jalan nafas ini memiliki ukuran kecil dan ditoleransi lebih baik oleh pasien yang sadar, tetapi kurang stabil dalam lidah. Karena lumen interna berebntuk bulat sempurna, pada Williams airway, ETT  harus disingkirkan apabila akan dipindahkan setelah intubasi. Hal ini akan sulit apabila apabila ETT memiliki circuit adapter. Berman airway menghiolangkan masalah ini dengan cara terbagi sepanjang satu sisi. Plastik disisi berlawanan tipis dan dapat ditempa. Apabila iterincisor adekuat, airway dapat terbuka secara lateral untuk memudahkan pemindahannya dari ETT.

            Setelah berhasil diarahkan menuju supragloyis, ahli endokopi mevisualisasi pita suara. Jika penutupan glotis, muntah, atau batuk terjadi karena struktur laring terstimulasi FOB,operator dapat menggunakan anestesi lokal, menambah sedasi, atau mengangkat endoskop dan memperbaiki tahap persiapan. Klinisi juga mungkin akan memutuskan terus memasukan FOB. Tindakan harus diambil tergantung dari setiap situasi klinis; pada skenario elektif, masih ada waktu untuk menambah analgesia pada airway, tetapi pada pasien dengan gagal nafas mengancam, maka  ketidaknyamanan pasien dapat ditoleransi. Sekali masuk ke dalam laring, opertor memilih struktur seperti  karina, untuk membuat landmark ketika ETT dimasukkan Sederhana karena FOB telah masuk ke dalam trakea, tidak ada jaminan intubasi akan berhasil. Seperti disebutkan di atas, 20-30% dari ETT disertai dengan kaitan. Maka dari itu, seorang pasien dengan kondisi jalan nafas yang kritis, tidak boleh diinduksi anestesi umum, dengan asumsi bahwa ETT akan mudah untuk lewat.

            Sekali ETT memasuki trachea, klinisi dapat memilih untuk melihat ETT dan tanda anatomi (misalnya carina tracheal) untuk memastikan tempat ETT yang tepat sebelum FOB ditarik.
            Terdapat sejumlah variasi dan alat tambahan pada intubasi dengan bantuan FOB. Pembaca dianjurkan  untuk merujuk ke literatur primer pada tabel 23-17. Walaupun intubasi dengan bantuan FOB merupakan tehnik yang memiliki banyak manfaat dan bersifat vital, namun terdapat beberapa kekurangan, dimana sebagian besar telah didiskusikan sebelumnya. Pada tabel 23-18 terdapat sebab-sebab utama terjadinya kegagalan pada intubasi dengan bantuan FOB.
            Alat-alat Intubasi Fiberoptic yang Rigid. Alat-alat fiberoptic dapat menghasilkan tampilan tidak langsung dari larynx dan bertindak sebagai pemandu ETT untuk intubasi. Lebih dari 1/3 dari seluruh anestesi dilakukan melalui akses dengan alat-alat ini. Alat-alat ini juga dapat digunakan pada pembukaan mulut yang terbatas (0,4 cm pada kasus Bullard). Alat ini terdiri dari blade seperti laringoskop yang terbuat dari stainless-steel yang kaku yang meliputi kabel fiberoptik dengan komponen mata pada bagian proksimal dan lensa objektif pada bagian distal. Blade ini memiliki bentuk kurva anatomis untuk menyesuaikan dengan posisi netral dari rongga mulut manusia: jalur antara pharynx dan hypopharynx. Penyesuaian susunan dari rongga mulut, pharyngeal dan tracheal tidak diperlukan. Pencahayaan disediakan oleh kabel fiberoptik yang kedua yang mentransmisikan cahaya dari baterai atau sumber cahaya berdiri yang bebas.
            Bullard-scope, yang memiliki ukuran dewasa serta anak-anak, telah diteliti sebagai yang terbaik. Alat ini memiliki kabel fiberoptik yang terfixir pada bagian posterior dari blade. Lensa komponen mata memiliki diopsi yang dapat disesuaikan. Juga terdapat sebuah saluran yang berada pada sisi panjang blade. Sekali laring divisualisasikan, ETT dimasukkan dengan stylet yang menempel, walaupun teknik lain sudah dijelaskan. Akhir-akhir ini, keuntungan dari Bullard-scope di atas blade laryngoscope tradisional dalam manajemen pasien dengan kerusakan tulang belakang dan pasien obese telah diteliti.
            Upsher Scope (Mercury Medical, Clear Water, FL) tersedia dalam ukuran dewasa. Alat ini tidak menggunakan stylet namun ETT dipegang dan dimasukkan melalui lumen berbentuk C pada pisau. Pada alat ini tidak terdapat saluran kerja. Komponen matanya dapat difokuskan.
            WU-scope (Pentax) adalah alat lain dimana endoskopi fiberoptik yang fleksibel dimasukkan melalui saluran di antara 3 bagian pegangan stainless steel dan blade. Saluran kedua yang lebih besar menerima ETT. Saluran kerja terdapat sepanjang lumen endoskopi. Diproduksi dua ukuran dewasa.  Pada saat larynx divisualisasikan dan ETT dimasukkan ke dalam trachea, kedua bagian stainless-steel dari blade laryngoskopi dikeluarkan dari mulut. Tidak seperti dua alat sebelumnya, WU-scope dapat juga digunakan untuk intubasi nasal dengan memasukkan bagian anterior dari blade saja dan pegangannya. ETT yang sebelumnya ditempatkan pada pharynx melalui nares dapat ditempatkan pada bagian anterior dari blade.        

Kasus 2 : Intubasi Kawat Retrograde

Seorang wanita tua berusia 65 tahun dengan riwayat merokok sebanyak 60 pak/tahun dan rheumatoid arthritis lanjut, datang ke bagian Emergensi dengan distress pernafasan. Saturasi oksigennya dengan masker oksigen non-breather adalah 85%. Ia memiliki pembukaan oral yang terbatas (~ 2,5 cm) dan jarak thyromental 6 cm. Meskipun membran cricothyroid dapat dipalpasi, namun aksesnya terbatas dan juga ke cincin trachea yang disebabkan kifosis servikal yang signifikan. Sputumnya terlihat mengandung darah dan sekresi bronchial yang purulen. Intubasi buta melalui nasal secara sadar telah diusahakan sebanyak 2 kali oleh dokter emergensi, namun  gagal dan menghasilkan epistaksis. Kemudian intubasi retrograde dari jalan nafas dilakukan pada pasien pada posisi duduk dengan penempatan perkutan dari kateter no.18 melalui cricothyroid menggunakan larutan saline dengan 10 ml syringe untuk mendeteksi udara yang berhubungan dengan jalan masuk tracheal. (setelah anestesi lokal inisial infiltrasi pada kulit diatas membrane). Jarumnya diposisikan diatas membran mid-cricothyroid dengan sudur 45o dari dada. Setelah dilakukan aspirasi udara bebas, lapisan Teflon dari kateter dimasukkan kedalam trachea. Kawat pembimbing radiology dengan diameter 0,035 inchi dan panjang 110 inchi dimasukkan melalui kateter sampai ujung proksimalnya muncul dari mulut. ETT  7,0 ditempatkan pada kawat dan dibimbing ke dalam trachea. Kawatnya di keluarkan dengan mendorongnya ke lubang kecil perkutan dan menariknya dari ujung proksimal  saluran trachea. Auskultasi suara nafas pada lapang paru sejalan dengan adanya tekanan positif dari ventilasi bantuan. Saat saturasi oksigennya membaik, pasien diberi sedasi dangan midazolam intravena.

Penggunaan Intubasi Kawat Retrograde dalam Manajemen Jalan Nafas.
Intubasi Kawat Retrograde (Retrograde Wire Intubation / RWI) meliputi penarikan antegrade atau membimbing ETT kedalam trachea menggunakan kawat atau kateter yang sudah dimasukkan ke trachea melewati lubang kecil perkutan  melalui membran cricothyroid atau membran cricotracheal dan secara buta dimasukkan retrograde ke dalam
Larynx, hypopharynx, pharynx dan keluar dari mulut atau hidung. Intubasi retrograde pertama kali dilakukan pada 1960 oleh Butler dan Cirillo, dengan penempatan kateter uretra berwarna merah melalui trakeostomi sebelumnya, naik melalui laring dan keluar melalui mulut. Teknik perkutaneus yang digunakan saat ini ditemukan oleh Walters tahun 1963, menggunakan kateter epidural. Tahun 1993 teknik ini termasuk dalam algoritme penyulit jalan napas ASA.

Tabel 23-18. Penyebab kegagalan selama intubasi dengan bantuan Fiberoptik
Kurangnya pengalaman: tidak latihan intubasi rutin
Gagal memberikan anestesi yang cukup: sekresi tidak kering, teknik yang terburu-buru
Gagal membersihkan jalan napas dengan baik: dosis yang kurang atau teknik yang terburu-buru
Rongga hidung berdarah: vasokontriksi yang tidak adekuat, teknik yang terburu-buru, memasukkan ETT dengan paksa
Kerusakan pada dasar lidah atau epiglotis: terbatasnya pilihan intubasi jalan napas, kebutuhan akan chin lift/jaw thrust
Sedasi yang tidak adekuat pada pasien yang sadar
Tersangkut: ETT terlalu besar
Pengaburan FOB: penghisapan atau oksigen tidak berkerja pada saluran, bronkoskopi yang dingin.

            Peralatan dasar yang digunakan pada teknik intubasi retrograd tercantum pada tabel 23-19.
            Intubasi retrograd telah digambarkan pada berbagai kondisi klinis sebagai teknik intubasi primer (pilihan atau mendesak) dan setelah kegagalan pada laringoskopi langsung, intubasi fiberoptik, intubasi LMA. Indikasi yang utama adalah ketidakmampuan untuk memvisualisasikan lipatan vokal karena adanya darah, sekresi, atau variasi anatomi, tulang servikal yang tidak stabil, keganasan pada saluran napas atas, dan fraktur mandibula. Kontraindikasi termasuk berkurangnya akses ke membran krikotiroid atau ligamen krikotrakheal (oleh karena deformitas leher yang berat, obesitas, massa), penyakit laringotrakheal (stenosis, keganasan, infeksi), koagulopati, dan penyakit infeksi kulit.
            Hubungan dengan anatomi yang harus dipertimbangkan pada RWI telah didiskusikan di bab lain. Khususnya, prosedur ini membutuhkan waktu 5 menit. Oleh karena banyak klinisi yang tidak biasa dengan teknik ini, dapat memakan waktu beberapa menit lebih lama bagi yang tidak berpengalaman; maka dari itu, RWI kontraindikasi relatif pada pasien hipoksik. RWI telah digunakan pada kondisi emergensi, pada dewasa dan bayi, pada ruang operasi, ED, dan lingkungan prerumah sakit. Komplikasi RWI yang telah dilaporkan terlihat pada tabel 23-20.
            Pasa pasien tertentu (kasus 1), RWI dipilih pada keadaan dimana pasien tidak apneu, dapat mensuport ventilasi dan oksigenasi sendiri, kedua kasus berbeda dalam hal bahaya kegagalan pernapasan (kasus 2) berlawanan dengan intubasi dengan bantuan FOB yang dilakukan pada keadaan yang stabil (kasus 1). Pada banyak keadaan, dimana intubasi merupakan tindakan awal untuk menyelamatkan jalan napas, hanya terdapat sedikit waktu untuk persiapan pasien (contoh: persiapan antisialagogues, anestesi topikal dan atau sedasi). RWI tidak membutuhkan lapangan visual yang jelas atau kerjasama pasien dan dapat dilakukan dengan analgesik yang sedikit pada jalan napas.

Tabel 23-19. Peralatan intubasi kawat retrograd
Angiokateter 18G atau lebih besar
Luer-lock syringe, 3 ml atau lebih
Petunjuk kawat:
-          Tipe J
-          Panjang: min. 2,5 kali ETT standar (110-120 cm)
-          Diameter: dapat dilalui angiokateter yang dipilih
Lain-lain: mata skalpel, hook nerve, forceps Magill, sutura silk 30”, kateter epidural.

Gambaran kawat intubasi retrograd (Gambar. 23-35). RWI biasanya dilakukan pada posisi supinasi, walaupun posisi duduk juga sering digunakan pada pasien dengan gangguan jalan napas. Ekstensi kepala atau leher mangakibatkan posisi kartilago krikoid dan trakhea terletak lebih anterior dan m.Sternokleidomastoideius lebih lateral, walaupun pada kasus 2, ini tidak selalu terjadi. Kulit harus dipersiapkan. Jika pasien sadar, anestesi lokal dilakukan diatas lokasi punksi. Anestesi lokal harus diberikan untuk menghindari ketidaknyamanan dan reflek napas. Secara umum, anestesi topikal pada trakhea, laring, faring, dan saluran hidung disukai. Anestesi translaringeal merupakan teknik yang biasanya dilakukan sejak dibutuhkannya perkutaneus trakhea selama RWI. Di atas dan di bawah lipatan vokal dianestesi.
            Seperti ditulis sebelumnya, membran krikoid (CTM) dan ligamen krikotrakheal (CTL) adalah tempat yang potensial untuk punksi translaringeal. Walaupun CTM punya keuntungan karena langsung anterior pada permukaan posterior yang luas dari kartilago krikoid, dengan demikian melindunggi esofagus dari jarum punksi, jarum diletakkan didekat proksimal (0,9-1,5 cm) dari lipatan vokal dan bisa terjadi sedikit kesalahan tempat sewaktu intubasi.

Tabel 23-20. Komplikasi yang berhubungan dengan intubasi retrograd
Perdarahan (11)
Empisema subkutaneus (4)
Pneumomediastinum (1)
Sesak napas (1)
Kateter ke caudal (2)
Trauma saraf trigeminus (1)
Pneumothorak (1)

            Walaupun dulunya dilakukan dengan jarum Tuohy dan kateter epidural, peningkatan diameter yang lebih kecil, kawat kaku dengan atraumatik J telah membuat modifikasi guidewire terkenal. Guidewire umumnya berdiameter 0,032-0,038 inchi, dan dapat melewati kateter 18G intravena. Umumnya panjangnya 110 dan 120 cm. Persyaratan untuk panjang hanya kawat 2 kali lebih panjang dari  trakheal tube yang digunakan, jadi tidak masalah dimanapun kawat berada, kedua ujungnya sealau terhubung ke operator. 
            Jarum atau kateter masuk ke trakhea 90º terhadap potongan sagital dan korona bila memungkinkan (tidak seperti kasus 2). Pada orientasi ini, bila terlalu jauh jarum akan memasuki aspek posterior kartilago krikoid, dan tidak mempunksi esofagus. Sebagai tambahan, sudut ini akan membantu menghindari trauma pada daerah didekat lipatan vokal.
            Setelah dilakukan punksi perkutaneus dan trakhea diidentifikasikan dengan aspirasi bebas udara, kateter dengan sedikit sudut keararah kepala dan kawat dimasukkan (J-tip) ke trakhea sampai tepinya dari mulut atau hidung. Kawat dikeluarkan dari mulut dengan bantuan sekaan jari, forcep Margill, atau nerve hook. Obstruksi kawat harus di reevaluasi dengan tepat, baik dari sudut kateter dan posisi kepala atau leher (contoh, kateter posterior dan atau kaudal, leher fleksi). Jika sakit diatas laring, ini karena kawat masuk ke rongga hidung yang tidak adekuat persiapannya. Pilihan antara lain memasukkan kawat dengan pelan dan meminta pasien untuk membuka mulut dan menjulurkan lidah maksimal, memasukkan sampai orifaring, mempersiapkan saluran napas dengan sabar. Setelah kawat terpasang, trakheal tube dapat dilaksanakan dengan menggunakan kawat sesuai dengan pilihan operator atau pengalaman. Tabel 23-21 menyajikan teknik, beserta keuntungan dan kerugiannya. Detail dari teknik ini telah dijelaskan pada bab lain.
            Pada kasus yang dilaporkan, teknik lain telah dipertimbangkan. Walaupun peralatan viaual indirek (bronkoskopi fiberoptik fleksibel, laringoskopi fiberoptik kaku) dapat mambantu dalam kasus ini, ada tiga hal yang berbahaya terhadap penggunaannya: (1) trauma jaringan pada tempat intubasi rongga hidung yang berulang yang menimbulkan perdarahan jalan napas, (2) pasien tidak dapat berkerjasama karena sesak napas, (3) karena kegagalan pernapasan, hanya ada sedikit waktu untuk analgesik jalan napas yang adekuat. Pasien yang batuk, sadar membuat teknik fiberoptik hampir tidak mungkin. Mengedan dan batuk selama intubasi fiberoptik menimbulkan robekan Mallory-Weiss pada esofagus, dan mengakibatkan perdarahan yang bermakna.
            Intubasi blind nasal adalah teknik pertama yang diterapkan pada pasien ini. Teknik ini membutuhkan analgesik bermakna pada saluran hidung pasien yang sadar. Dengan kepala pada posisi Magill, ETT dimasukkan ke lubang hidung, saluran hidung (menjaga agar ETT tetap berada sepanjang septum hidung), masuk ke faring. Bunyi napas diauskultasi dari ETT, dan posisi diatur menjaganya tetap maksimal. Kepala dan laring pasien dapat dimanipulasi secara eksternal sesuai kebutuhan.



Tabel 23-21. Keunggulan Teknik ETT  dari Kawat Retrograd
Teknik
Keuntungan
Kerugian
Kawat masuk keseluruh lumen ETT

Kawat diletakkan pada lumen ETT melalui Murphy eye
Kawat masuk melalui ujung distal ETT dan keluar melalui Murphy eye
ETT pengganti Stylet diletakkan diatas kawat, diutamakan untuk penggantian ETT


Bronkoskopi fiberoptik diletakkan diatas kawat, diutamakan untuk penggantian ETT



Silk sutura

ETT kecil
Teknik standar


Batas kesalahan meningkat
Railroading berkurang

Railroading berkurang


Railroading berkurang
Stylet dapat digunakan untuk meningkatkan batas kesalahan secara cepat ketika pelepasan kawat
Railroading berkurang
Stylet dapat digunakan untuk meningkatkan batas kesalahan secara cepat ketika pelepasan kawat
Visualisasi
Railroading tidak ada
Margin of error berkurang
Railroading berkurang
Batas kesalahan, jarak yang sama dari lipatan vokal ke tempat punksi, railroading
Stylet tidak dapat digunakan

Batas kesalahan, jarak yang sama dari lipatan vokal ke tempat punksi
Mahal





Mahal






Susah untuk menempatkan silk suture
Secara klinis bisa tidak adekuat
Batas kesalahan: jarak dibawah lipatan vokal dimana endotrakheal tube berada pada saat yang sama dengan pemindahan kawat petunjuk. Bila jarak tidak adekuat, ada risiko ekstubasi segera.
Railroading: perbedaan ukuran kawat petunjuk dan endotrakheal tube.

Kasus 3: Kombitube Esofageal Trakheal
Pria berusia 55 tahun dengan riwayat sirisis dan varices esofagus memerlukan kontrol jalan napas karena perdarahan gastrointestinal atas yang akut dan rekuren. Terpisah dari adanya darah segar pada jalan napas, pemeriksaan fisik pada jalan napas eksternal dilakukan secara konstan dengan laringoskopi rutin. Lebih jauh lagi, dulunya dia telah diintubasi beberapa kali. Setelah bebrapa kali induksi, laring tidak dapat terlihat pada tiga laringoskopi karena darah segar dari esofagus. Dari ketiganya, ETT tidak erlihat, dan tidak adnya bunyi napas diatas thorak bersamaan dengan adanya banyak darah pada ETT mengacu kepada diagnosis intubasi esofagus. Kombitube esofageal trakheal ukuran besar untuk dewasa (Kendall, Mansfield, NY) dibutuhkan, dimasukkan ke jalan napas, faring dan distal jadi inflasi. Ventilasi pada lumen faring yang perforasi menghasilkan suara napas bilateral pada auskultasi, dan saturasi oksigen meningkat mencapai >90%. Darah yang banyak di hisap dari lumen esofagus. Pasien dilakukan angiografi dimana terjadi embilisasi varises esofagus. Kombitube esofageal trakheal dipindahkan dan pasien diintubasi dengan laringoskopi langsung.
            Riwayat Kombitube Trakheal esofageal. Kombitube Trakheal esofageal dikembangkan dari konsep “Esophageal Operator Airway” (ESO), yang dikenalkan tahun 1968. ESO terdiri dari trakheal-like tube, panjang 34 cm,. Ini dimasukkan ke esofagus, jadi terletak pada kaudal dan posterior carina trakhea. 16 lubang yang berhubungan dengan lumen sentral diposisikan sehingga berada di hipoparing ketika dimasukkan pada kedalaman yang tepat. Masker wajah pada ujung proksimal digunakan untuk “mencuri” jalan napas. Ventilasi dicapai dengan pemberian tekanan positif pada apertura proksimal yang terbuka. Sayangnya, masalah/ komplikasi yang bermakna timbul setelah ESO digunakan dalam praktek sehari-hari (Tabel 23-22).

Tabel 23-22. Masalah yang berhubungan dengan obturator esofagus
Kesulitan dalam menjaga agar face mask tetap erat, terutama selama transportasi prerumah sakit. Sering, kedua tangan dibutuhkan untuk menjaga agar tetap erat, terutama pada yang berjenggot.
Intubasi trakhea yang tidak diketahui mengakibatkan obstruksi jalan napas komplit
Ruptur esofagus atau gaster, mungkin karena panjang
           
            Efek samping ESO dilaporkan oleh Dr. Michael Frass, critical care physician di Vienna, Austria tahun 1986. Face mask ESO digantikan oleh ballon orofaringeal, membersihkan jalan napas atas dan menahan peralatan pada palatum. Dengan ESO, perforasi pada level hipofaringeal mengakibatkan masuknya udara didekat laring, sementara di distal (esofagus) tetap tertutup. Modifikasi ESO ini tidak menyelesaikan masalah obstruksi jalan napas yang komplit jika peralatan secara tidak sengaja masuk ke trakhea. Untuk menyelesaikan masalah ini modifikasi terakhir oleh Dr. Frass mencakup lumen kedua, menetap dari proksimal hingga ujung distal, tanpa perforasi. Desain ini dinamakan kombitube trakheal esofageal, berfungsi bila dimasukkan ke esofagus (ventilasi tercapai melalui lumen esofagus, via perforasi hipofaringeal) atau didalam trakhea (ventilasi tercapai melalui lumen trakhea, via apertura distal). Pada kasus lain, ballon bagian proksimal melingkupi saluran oral dan nasal, dan trakheal tube bagian distal memisahkan sistem respiratory dari sistem gastrointestinal. Alat tersedia dalam 2 ukuran: 41Fr untuk dewasa (tinggi > 5,5 kaki) dan 37Fr untuk dewasa dengan tinggi 4-6 kaki. (gambar 23-36).
            Penggunaan kombitube esofageal trakheal. kombitube esofageal trakheal dimasukkan. Operator mengangkat rahang bawah dan lidah ke anterior dengan satu tangan, kombitube esofageal trakheal dimasukkan dengan arah kebawah, dengan gerakan ke kauda sampai indikator kedalaman proksimal (2 cincin hitam tercetak pada double lumen tube) setinggi gigi. Ballon orofaringeal dipompa dengan 100 ml udara melalui pilot ballon plastik biru (85 ml pada ukuran dewasa yang kecil) sementara di distal dipompa dengan 5-15 ml (via pilot ballon putih). Ambu bag atau sirkuit anestesia diletkkan di ujung proksimal lumen esofagus (disusun dari blue polyvinyl chloride), dan ventilasi dikonfirmasi dengan auskultasi atau cara lainnya. Karena 90% kombitube esofageal trakheal menghasilkan posisi esofagus, ventilasi terjadi via perforasi lumen hipofaringeal. Jika tidak ada suara napas dengan auskultasi atau terjadi inflasi gaster, kombitube esofageal trakheal harus diposisikan di trakhea. Tanpa reposisi, ventilasi akan berubah ke ujung distal lumen (clear polyvinyl chloride). Jika tidak ada manuver yang meningkatkan ventilasi, alat berada di esofagus, tapi sudah berada lebih dalam, dengan cuff orofaringeal mengobstruksi jalan napas. Pada kasus ini, cuff harus di rendahkan, alat dibenamkan 2 cm dan ventilasi diulang.
            Keuntungan kombitube esofageal trakheal antara lain mengontrol jalan napas dengan cepat, proteksi trhadap regurgitasi, mudah digunakan oleh operator yang tidak berpengalaman, tidak ada persyaratan untuk memvisualisasi laring, memlihara leher pada posisi netral. Hal ini berguna untuk pasien dengan perdarahan gastrointentinal atas yang massive atau muntah, cedera tulang cervical atau deformitas (adanya cervical collar yang kaku dapat membuat insersi jadi susah atau tidak bisa), sebagai peralatan penyelamat pada kegagalan induksi yang cepat atau intubasi yang tidak dapat di antisipasi. Ini juga berguna pada orang yang obesitas, pada bronkhospasme akut, selama resusitasi kardiopulmonal, dan untuk ventilasi yang diperpanjang setelah pembebasan jalan napas. Beberapanya telah didemonstasikan dan bernilai pada management jalan napas prerumah sakit.
            Teknik untuk mengganti kombitube esofageal trakheal menjadi endotrakheal tube telah dijelaskan.
            Kontraindikasi kombitube esofageal trakheal antara lain obstruksi esofagus atau abnormalitas lainnya, tertelannya agent caustic, benda asing pada sal.napas atasatau massa, obstruksi jalan napas bawah, tinggi kurang dari 4 kaki, reflek sumbatan. Karena kombitube esofageal trakheal terdiri dari latex, alat ini seharusnya tidak digunakan pada orang yang alergi latex.
            Komplikasi yang berhubungan dengan kombitube esofageal trakheal yaitu laserasi ke sinus piriformis dan dinding esofagus yang menimbulkan emfisema subkutaneus, pneumomediastinum, pneumoperitoneum, dan ruptur esofageal.


Kasus 4: Gagalnya rapid-sequence induksi dan LMA
Seorang pria berusia 39 tahun datang untuk uvulofaringopalatoplasti. Dia tidak mempunyai riwayat operasi sebelumnya. Maksimal insisor gapnya 5 cm, jarak thyromental 7 cm, gambaran orofaringealnya Samsoon-Young kelas 2. Tidak ada keterbatasan pada fkelsi dan ekstensi leher dan kepala. Selama studi sleep apneu, dia memiliki 15 apneu/jam.. Pasien memiliki riwayat refluk gastrointestinal yang bermakna, dan rapid-sequence induksi direncanakan. Setelah pemberian pentotal, succinilcholine, dan tekanan krikoid (manuver Sellick), laringoskopi direk dengan 3 laringoskopi blade Macintosh memperlihatkan epiglotis yang besar menutupi gambaran lipatan vokal (Cormark-Lehane grade 3). Hiperplasia signifikan pada dasar lidah, yang mencegah perpindahan komplit. Macintosh 4 dan Miller 3 blade digunakan dan tidak meningkatkan gambaran. Saturasi oksigen, yang awal induksi adalah 100%, sekarang tinggal 92%, dan face-mask ventilasi di inisiasi dengan manuver Sellick. Obstruksi komplit terhadap ventilasi ditemukan, walaupun chin dan/ jaw lift, ventilasi 2 orang, dan pengurangan derajat tekanan krikoid. Saturasi oksigen turun menjadi 85% dan ukuran 5 LMA di masukkan dengan cara yang telah dijelaskan sebelumnya. Dengan segera, jalan napas yang bersih tercapai, dan tekanan Sellick tetap. Dosis pentotal kedua diberikan, dan pasien diintubasi dengan 7-id ETT via LMA. LMA kemudian dikeluarkan dengan menggunakan Cook airway exchange catheter (Cook Critical Care, Bloomington, IN) seperti stylet, dan kasus operasi berhasil.
            LMA pada kegagalan jalan napas. Salah satu keuntungan LMA yang pasti adalah penggunaannya pada kegagalan jalan napas. Telah banyak kasus yang dilaporkan tentang kegagalan ventilasi dengan mask dan intubasi yang ditolong dengan LMA. Permet et al memperkirakan bahwa 1:800,000 pasien tidak dapat dilakukan LMA, 80 kali peningkatan pada margin of safety dibandingkan 1:10,000 pasien yang tidak dapat di ventilasi dengan mask atau intubasi dengan cara tradisional. Kepustakaan menjelaskan penggunaan LMA pada management kesulitan jalan napas pada pasien sadar dan tidak sadar, pada situasi yang terantisipasi atau tidak, pada cedera tulang cervikal, dan pada sindrom dismorfik pediatrik. Karakteristik LMA yang merupakan keunggulannya adalah dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien, merangsang peregangan alami jaringan hipoparingeal oleh makanan, insersinya mengikuti jalur intrinsik, tidak memerlukan adanya distorsi jaringan (seperti dengan laringoskopi), yang mungkin tidak pada semua pasien dapat dilakukan. Akhirnya, ini adalah teknik yang tidak dihambat oleh darah, sekresi, debris dan edema. Karena mudahnya insersi LMA yang tidak tergantung pada anatomi yang dapat dilakukan pada pemeriksaan fisik rutin, pemeriksaan jalan napas tertentu tidak dilakukan. Kerugian utama dari LMA pada resusitasi adalah kurangnya proteksi mekanik terhadap regurgitasi dan aspirasi. Rata-rata regurgitasi lebih rendah selama CPR (3,5%) daripada dengan bag-valve mask ventilasi (12,4%). Bahkan regurgitasi, aspirasi pulmo adalah kejadian yang jarang pada LMA. Sayangnya, penggunaan manuver Sellick dapat mencegah lokasi yang tepat untuk LMA pada kasus minoritas. Ini memrlukan pemindahan tekanan krikoid sampai LMA telah berada pada posisi yang tepat. Tekanan krikoid efektif dengan LMA insitu. Bila telah tersedia, Fastrack-LMA juga merupakan alat ideal pada skenario ini.

Kasus 5: Deviasi dari algoritme penyulit jalan napas
13 jam setelah berada di ICU, seorang wanita berusia 76 tahun yang menderita trauma pada wajah, kepala, dan leher pada kecelakaan motor diketahui terdapat penurunan kesadaran dan pernapasan. Dari pemeriksaan, terdapat interincisor gap dan jarak thyromental yang tidak adekuat. Gambaran orofaringeal dan gerakan kepala serta leher tidak dapat dievaluasi. Karena jalan napas tidak bisa dievaluasi sepenuhnya untuk membantu mempermudah intubasi, prosedur sadar dipilih. Alat intubasi fiberoptik tidak bermanfaat karena adanya darah yang segar dan beku pada mulut sebagai akibat dari epistaksis yang berkelanjutan. Teknik lainnya yang membutuhkan persiapan pasien tidak dipertimbangkan karena peningkatan kegagalan pernapasan pada pasien. Sebagai tambahan, adanya darah segar di rongga oral dan faringeal akan mnghambat pengeringan dan analgesi yang adekuat.Blind nasal intubasi merupakan kontraindikasi didasarkan atas trauma wajah dan risiko kerusakan cribiformis. Tidak hanya peralatan untuk intubasi retrograde, tracheal esofageal combitube telah tersedia. Lighted stylet intubation guide tersedia, namun tidak tersedianya klinisi yang berpengalaman dengan teknik ini. Walaupun perubahan status mental dipercayai mempengaruhi proses intrakranial (contoh, hipertensi intrakranial), risiko hilangnya pernapasan komplit dinilai sebagai bahaya primer. Laringoskopi direk dilakukan dengan in-line stabilisasi leher. Setelah membersihkan darah segar dari faring dengan kateter Yankauer suction, dilakukan Cormarck-Lehane grade 3 untuk melihat gambaran laringeal, tapi karena resistensi pasien (gigitan pada laringoskopi dan pergerakan), intubasi trakheal tidak tercapai. Keputusan diambil agar berhasil dengan rapid-sequence induksi dan intubasi, dengan persiapan untuk trakheostomi emergensi. Setelah persiapan operasi leher dan preoksigenasi, diberikan succynylcholine dan etomidate intravena, kemudian dilakukan laringoskopi direk, laring dengan mudah dapat dilihat dan trakhea diintubasi.
            Relaksan otot dan laringoskopi direk. Pada kasus diatas, penggunaan relaksan otot, secara bermakna meningkatkan kemampuan untuk melihat laring. Pada penelitian terdahulu, penggunaan relaksan otot selama laringoskopi direk meningkatkan keberhasilan intubasi dan dihubungkan dengan berkurangnya insidensi trauma jalan napas, intubasi, intubasi esofageal, aspirasi, bahkan kematian. Kondisi intubasi dengan atau tanpa relaksan otot telah diteliti dengan sedikit kontrol trial karena kondisi intubasi maksimum tercapai dengan relaksan otot telah menghalangi inklusi kelompok kontrol. Kerja relaksan otot yang meningkatkan gambaran laringoskopik antara lain relaksasi dan pembukaan sendi temporomandibular secara komplit, pergerakan epiglotis ke anterior, pelebaran vestibulum laringeal dan sinus laringeal. Sebagai tambahan, adanya perangsangan laringoskopi pada otot faringeal yang menyebabkan lumen jalan napas atas mengecil dapat dihindari dengan penggunaan relaksan.
            Meninggalkan algoritme. Situasi yang digambarkan seperti kasus 5 tidak biasa dimana rapid-sequence induksi dilakukan karena situasi klinis menyimpang dari algoritme penyulit jalan napas ASA. Pada kasus ini, pemberian relaksan otot, yang merupakan kontraindikasi pada pasien yang sulit untuk diintubasi, dapat memvisualisasi laring secara penuh. Mengetahui bahwa gagal untu mengintubasi pada kasus ini dapat menimbulkan hilangnya pernapasan, klinisi menyiapkan krikotiroidotomi. Walaupun algoritme penyulit jalan napas ASA adalah alt yang berharga pada proses kesulitan jalan napas, klinisi harus selalu siap pada kasus yang tidak sesuai dengan algoritme. Seperti yang telat disebutkan sebelumnya, adaptasi dengan cepat pada situasi klinis penting untuk suksesnya management jalan napas. Pada kasus ini juga tersedia lighted stylet yang dapat digunakan pada skenario yang sama. Walaupun alat ini berguna untuk kasus tertentu, tidak ada klinisi yang terbiasa dengan cara kerjanya. Situasi kritis bukan merupakan kesempatan untuk mencoba teknologi yang tidak biasa.

Peralatan Lainnya
Peningkatan jumlah management peralatan jalan napas telah tersedia secara komersial. Walaupun cakupan ensklopedia alat yang dijelaskan pada bab ini masih kurang, namun dapat dilihat ringkasannya dibawah ini.

Lighted Stylets
Alat ini bertumpu pada transilluminasi jalan napas. Sumber cahaya di masukkan ke trakhea yang akan menghasilkan nyala dengan batas tegas pada jaringan diatas laring dan trakhea. Cahaya yang sama diletakkan di esofagus tidak akan menghasilkan nyala atau menghasilkan nyala difus.Sejumlah peralatan telah tersedia, termasuk disposable, sebagian   disposable, fully reusable. Walaupun banyak kasus intubasi yang dilaporkan berhasil dengan alat ini, beberapa masalah ditemui: secara umum, cahaya untuk operasi harus redup agar batas nyala terlihat jelas, stylet tip harus sukses terletak di trakhea, tapi tidak di arah anterior, dapat memberikan false-negative, kadang susah memindahkan stylet semi kaku dari ETT setelah intubasi.

Airway Bougie
Merupakan seri dari stylet padat atau hampa, semimalleable yang dapat dimanipulasi ke trakhea. ETT kemudian dimasukkan diatas bougie dan diteruskan ke trakhea. Bougie ini murah dan dapat dengan mudah dipindahkan. Penemunya Eschmann (Eschmann Health Care, Kent, England) tahun 1949. Panjangnya 60 cm, 15Fr-gauge, dan sudut 40 derajat 3,5 cm dari ujung distalnya (gambar 23-37). Dibentuk dari basa polyester, dapat ditempa. Ini dapat sangat membantu ketika laring tidak dapat dilihat dengan laringoskopi. Aalat ini (juga dikenal dengan gum elastic bougie) dapat dimanipulasi dibawah epiglotis, segmen sudutnya langsung keanterior laring. Sekali telah mamasuki laring dan trakhea, rasa tertahan timbul ketika melewati struktur kartilago.

Prosedur Transtrakheal Invasive Minimal
Ketika akses jalan napas dari mulut atau hidung gagal atau tidak tersedia (contoh, trauma maksilofacial, faringeal, laringeal, patologis atau deformitas), akses emergensi via ekstrathoracic trakhea adalah rute yang mungkin terhadap jalan napas. Klinisi harus terbiasa dengan teknik alternative oksigenasi dan ventilasi ini. Keputusan untuk berhasil dengan prosedur insasive adalah sulit, dan banyak klinisi akan bimbang terhadap risiko kematiannya pada pasien. Dilakukan pada situasi tertentu, seperti aspirasi transtrakheal untuk analgesik jalan napas atau intubasi retrograde elektif. Walaupun trakheostomi dan krikotiroidotomi dibawah cakupan bab ini, teknik perkutaneus dapat dipertimbangkan.
            Krikotiroidotomi, krikotirotomi, koniotomi, dan minitrakheostomi adalah sama untuk membentuk saluran napas melalui membran krikotiroid. Anatomi dari struktur ini dan sekitarnya telah didiskusikan pada awal bab. Walaupun krikotirotomi adalah prosedur pilihan pada situasi emergensi, ini juga dapat diterapkan pada situasi tertentu ketika adanya akses terbatas ke trakhea (contoh, kyphoscoliosis cervical yang berat). Krikotirotomi kontraindikasi pada neonatus dan anak dibawah 6 tahun, dan pada pasien dengan fraktur laringeal.

Percutaneus Transtracheal Jet Ventilation (TTJV)
Percutaneus Transtracheal Jet Ventilation (TTJV), adalah bentuk dari krikotiroidotomi, paling dikenal pada anestesiologist. Algoritme penyulit jalan napas ASA mencantumkan Percutaneus Transtracheal Jet Ventilation sebagai pilihan bila tidak dapat dilakukan mask-intubasi, intubasi. TTJV mudah dan relatif aman dengan arti mempertahankan kehidupan pasien pada situasi kritis. Kateter intravena 12,14 atau 16 dengan syringe 5 ml atau lebih, kosong atau terisi sebagian (anestesi saline atau lokal), harus digunakan untuk memasuki jalan napas. Pasien dalam posisi supinasi, dengan kepala pada midline atau ekstensi terhadap leher dan thorak (jika tidak kontraindikasi oleh situasi klinis). Setelah persiapan aseptik, anestesi lokal disuntikkan diatas membran krikotiroid (jika pasien sadar dan waktu memungkinkan). Tangan kanan klinisi berada pada sisi kanan pasien, menghadap kearah kepala. Klinisi dapat menggunakan tangan non dominan untuk menstabilkan laring. Jarum kateter dimasukkan pada sudut tepat di kauda ketiga membran. Sejak saat punksi kulit aspirasi syringe harus konstan. Aspirasi yang bebas dari udara menunjukkan telah memasuki trakhea. Jarum kateter harus dilepaskan, dan hanya kateter yang memasuki jalan napas. Walaupun teknik ini telah dijelaskan dengan angiokateter, peralatan yang terbuat dari material kink-resistant dan dengan asesori port telah ada (gambar 23-38).
            Sekali kateter berhasil terletak di jalan napas, sumber oksigen tertahan. Klinisi mempunyai beberapa pilihan pada kasus ini. Bila sistem bertekanan tinggi tersedia sebagai contoh sumber oksigen meteran dan dapat diatur dengan katup pengontrol (gambar 23-39) dan penghubung Luer-lock 25-30 psi oksigen dapat disalurkan langsung lewat kateter, dengan laju 1-1,5 detik dengan rata-rata 12 insuflasi/menit. Jika kateter 16 telah diletakkan, sistem ini akan mengantarkan volume tidal 400-700 ml. Penutupan mulut atau hidung secara manual mungkin diperlukan selama fase insuflasi (tapi tidak pada ekshalasi) jika terdapat kebocoran udara yang bermakna pada jalan napas. Jika sistem seperti ini tidak ada, gas dari mesin anestesi (15 mm diameter bag.dalam female adapter) dapat digunakan untuk menyediakan tekanan tinggi. (gambar 23-40).
            Sistem tekanan rendah tidak dapat menyediakan cukup aliran untuk mengembangkan dada secara adekuat untuk ventilasi. Hubungan yang mudah ke kateter trakhea dapat dicapai dengan menempatkan cuff ETT ke 50-10 ml syringe, menggunakan ujung distal syiringe untuk menahan kateter, sementara adapter 15 mm ETT disesuaikan pada sirkuit anestesi atau ambu bag (gambar 23-41).
            Sistem krikotiroidotomi perkutaneus telah dikembangkan. Peralatan ini menyediakan akses yang luas yang adekuat untuk oksigenasi dan ventilasi dengan sistem tekanan rendah. Melker emergency cricothyroidotomy catheter set (Cook Critical Care, Bloomington, IN) menggunakan Seldinger- teknik catheter-over-a-wire yang familiar bagi praktisi anestesia (gambar 23-42). Alat ada dalam berbagai ukuran canula (diameter internal 3,5-, 4-, dan 6-mm). Persiapan dan posisi pasien sama dengan penggunaan jarum pada krikotiroidotomi. Insisi vertikal 1-1,5 cm pada kulit dibuat pada sepertiga bawah membran krikotiroid. 45 derajat kauda, punksi jaringan subkutaneus dan membran krikotiroid perkutaneus dilakukan dengan kateter 18 dan syringe. Setelah udara diaspirasi, kateter dimasukkan ke trakhea. Guidewire yang telah disiapkan dimasukkan melalui kateter ke trakhea. Kateter dikeluarkan dan kanula trakhea melekat pada tepi dilator. Dilator dimasukkan ke membran menggunakan tekanan. Tahanan yang bermakna mengindikasikan bahwa insisi kulit harus diperluas. Ketika dilator kanula telah masuk seluruhnya, dilator dan kawat dikeluarkan. 15 mm adapter sirkuit ujung kanula sekarang melekat pada ambu bag atau sirkuit anestesia.
            Sistem perkutaneus lainnya adalah Nu-Trake (Weiss Emergency Airway System; International Medical Devices) dan QuickTrach transtracheal catheter (VBM Medizintechnik GMBH). Teknik punksi non-needle didiskusikan dibab lain.

KESIMPULAN
Selain monitoring, management jalan napas rutin merupakan tugas utama terpenting bagi anestesiologist bahkan selama pemberian anestesi regional, pernapasan harus dimonitor dan disupport. Sayangnya, tugas rutin sering diabaikan. Namun konsekuensi hilangnya pernapasan sangat luas sehingga klinisi tidak dapat menopang dengan pendekatan.
            Meskipun pendekatan penyulit jalan napas ASA telah menyumbangkan kepada masyarakat medis sesuatu alat yang bernilai dalam pendekatan terhadap pasien dengan penyulit jalan napas, algoritme ini harus dipandang hanya sebagai  titik awal. Penilaian, pengalaman, situasi klinis, dan sarana yang tersedia keseluruhan mempengaruhi ketepatan dalam pemilihan jalur, atau pengembangan dari algoritme tersebut. Klinisi tidak diharapkan ahli dalam segala peralatan dan teknik yang tersedia saat ini. Meskipun demikian, rentang yang luas dari pendekatan harus dikuasai, sehingga kegagalan yang sebelumnya dapat menjadi kesuksesan. Demikian pula halnya, komunitas pengembang medis dan klinisi pengamat menyediakan untuk konsep produk-produk manajemen jalan napas, telah mensuplai berbagai macam alat-alat. Banyak yang mempersiapkan konsep dan masing-masingnya telah memiliki pendukung dan penyulit. Tidak satupun alat yang dianggap lebih superior dibanding alat lain. Klinisi dan sumber dayanya (peralatan dan personil) serta penilaian yang menentukan keefektifan dari teknik manapun.





perubahan denyut jantung                 perubahan MAP                konsentrasi minimum alveolar  

perubahan indeks jantung            perubahan tekanan atrium kanan atau vena sentral

perubahan tahanan vaskuler sistemik            konsentrasi minimum alveolar  

perubahan kecepatan pemendekan serat sirkumferen

konsentrasi minimum alveolar                     indeks kontraksi miokardium

konsentrasi minimum alveolar           

dosis epinefrin pada disritmia jantung pada anestesi ~ 1 MAC

penurunan tekanan jantung (sodium nitroprusida)

penurunan tekanan jantung (fenilefrin)                   konsentrasi minimum alveolar           

penurunan tekanan simpatis                              frekwensi letusan/mmHg

konsentrasi minimum alveolar           

aktivitas otot yang dipersarafi nervus simpatis                menit setelah induksi propofol

menit            menit




           
     










      
           



























Tidak ada komentar:

Posting Komentar